SOLOPOS.COM - Mahasiswa berkumpul di Gedung Audotorium G.P.H. Haryo Mataram Universitas Sebelas Maret Solo, Senin (13/5/2024). Mereka mempertanyakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). (Solopos.com/Joseph Howi Widodo)

Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim menyatakan rencana pemberlakuan kenaikan uang kuliah tunggal atau UKT—sebagai konsekuensi kenaikan biaya operasional perguruan tinggi—batal.

Nadiem mengatakan itu seusai bertemu Presiden Joko Widodo. Ia mengaku telah mendengar keluhan dari berbagai pihak dan memastikan akan mengevaluasi ulang kenaikan UKT di berbagai perguruan tinggi negeri.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Ibarat memadamkan kebakaran dengan guyuran air, membatalkan rencana pemberlakuan kenaikan UKT hanya meredam sedikit riak penolakan yang dikhawatirkan akan menjadi gejolak sosial lebih dahsyat.

Sebenarnya pembatalan rencana kenaikan UKT bukan solusi permanen atas biaya pendidikan tinggi yang makin mahal. UKT telah menjadi problem laten di perguruan tinggi negeri. Tiap tahun isu kenaikan UKT mengemuka.

Protes mahasiswa terjadi tiap tahun. Tiap tahun pula selalu ada kasus mahasiswa drop out, bahkan bunuh diri, karena tak mampu membayar UKT. Pemerintah seharusnya mengevaluasi secara mendasar penyelenggaraan pendidikan tinggi, terutama di perguruan tinggi negeri, yang menjadi dasar masalah biaya selalu menjadi problem laten.

Akar masalah harus dievaluasi, yaitu komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Salah satu wujudnya adalah status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) yang merupakan manifestasi baru dari status badan hukum milik negara (BHMN) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Kini status PTNBH menjadi semacam gengsi tertinggi bagi perguruan tinggi negeri. Kerangka dasar status ini adalah otonomi pengelolaan anggaran atau keuangan. Ini berefek perguruan tinggi dikelola menjadi semacam lembaga perdagangan, semacam lembaga usaha swasta.

Untung dan rugi menjadi perhitungan utama. Mahasiswa sebagai pembeli jasa. Perguruan tinggi sebagai penjual jasa. Hukum perdagangan berlaku: ketika permintaan tinggi, harga jual makin mahal. Ketika harga jual mahal, keuntungan makin besar.

Dampaknya adalah biaya kuliah yang tinggi menjadi masalah serius bagi banyak mahasiswa dan keluarganya. Ini tidak hanya memengaruhi akses terhadap pendidikan tinggi, tetapi juga menimbulkan beban finansial yang berat.

Pemerintah seharusnya menjadikan perguruan tinggi negeri sebagai agen pencerdasan kehidupan bangsa. Pengelolaan perguruan tinggi seharusnya benar-benar inklusif bagi semua lulusan SMA dan yang sederajat yang secara akademis atau intelektual mampu menjalani pendidikan tinggi.

Memang tidak semua lulusan SMA harus masuk perguruan tinggi negeri. Seleksi ketat selalu diberlakukan untuk calon mahasiswa baru. Yang terpenting dan mendasar adalah seleksi ketat itu harus inklusif, bisa diikuti siapa saja yang memiliki kemampuan intelektual atau akademis cukup untuk menjalani proses di pendidikan tinggi.

BHMN yang dilanjutkan PTNBH secara sengaja menghilangkan inklusivitas itu dengan membangun sistem hanya yang kaya raya yang bisa kuliah. Problem mendasar ini masih terabaikan.

Urusan UKT masih menjadi problem laten. Diperlukan upaya kolaboratif berbagai pihak untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dan memastikan  pendidikan tinggi tetap dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya