SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Para pencinta sepak bola di Indonesia hingga saat ini masih disuguhi perdebatan mengenai program naturalisasi pemain. Perdebatan belum mereda. Pertentangan makin tajam. Saya berpendapat  alasan tidak setuju dengan naturalisasi pemain mengada-ada dan bertentangan dengan harapan publik sepak bola negeri ini.

Sikap tak sepakat dengan naturalisasi bukan lagi diwujudkan dalam kritik, tetapi lebih menunjukkan kebencian. Tatkala tim nasional Indonesia mencetak gol, bahkan meraih kemenangan penting atas lawan yang lebih baik secara kualitas, mereka menunjukkan reaksi tak senang.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Muncul pertanyaan sebenarnya mereka punya agenda apa? Mengapa mereka tak senang tim nasional Indonesia yang diisi pemain naturalisasi mencapai prestasi lebih tinggi dibanding tim nasional era sebelumnya?

Kondisi itu seperti menegaskan ada kepentingan yang sedang terpenjara sehingga mereka mengusik berbagai perangkat yang menyangkut tim nasional, seperti pelatih, pemain, hingga PSSI sebagai organisasi yang berwenang atas tim nasional Indonesia.

Perkembangan isu mengenai tim nasional Indonesia belakangan ini membuat saya mual. Belum usai soal pro dan kontra naturalisasi pemain, muncul masalah sikap fan yang brutal. Saya tak habis pikir sebagian fan menunjukkan sikap tak dewasa. Terkesan serampangan mengaktualisasikan kecintaan terhadap tim nasional.

Kondisi yang demikian sudah lama ada, namun pada momentum Piala Asia U-23 tahun 2024 yang telah berakhir beberapa waktu lalu, reaksi sebagian fan dalam menyikapi situasi tertentu sangat keterlaluan. Mereka seperti kehilangan akal sehat, menyerang pemain tim nasional Indonesia secara personal.

Mereka melancarkan serangan membabi buta kepada klub. Pemain muda berbakat aset tim nasional Indonesia, Marselino Ferdinan, menjadi sasaran setelah Garuda Muda ditaklukkan Irak dengan skor 1-2 dalam perebutan tempat ketiga dan tiket Olimpiade pada Piala Asia U-23 tahun 2024 pada 2 Mei lalu.

Sebenarnya tak masalah menyampaikan kritik bahwa Lino, sapaan akrab Marselino, terlalu egois dalam penyelesaian akhir saat tim mendapatkan peluang gol. Sebagian fan bereaksi dengan menyerang pribadi atau menghujat di media sosial.

”Hahaha negara lucu,” begitu unggahan Merselino di Instagram. Para fan malah menyerbu akun klub tempat Lino bermain di Belgia, KMSK Deinze. Warganet Indonesia menyerukan agar klub mengeluarkan Lino dari tim. Ini sikap keterlaluan.

Ketidakdewasaan sebagian fan kembali ditunjukkan ketika Garuda Muda menjalani babak playoff Olimpiade 2024 melawan Guinea. Garuda Muda dalam kondisi pincang dan sangat membutuhkan peran Elkan Baggot sebagai tembok pertahanan untuk memastikan tiket ke Olimpiade.

Bek jangkung berusia 21 tahun itu tak bisa bergabung. Bristol Rovers, klub yang meminjamnya dari Ipswich Town, tak melepasnya ke tim nasional Indonesia U-23. Ada rumor Elkan menolak bergabung ke tim nasonal U-23 dan malah memilih berlibur bersama kekasihnya.

Kondisi itu tak pelak membuat sebagian fan yang tak mendapatkan informasi secara utuh menyerang Elkan. Ini memaksa Elkan menonaktifkan kolom komentar akun media sosialnya. Sikap sebagian fan tim nasional Indonesia benar-benar keblinger dan justru merugikan.

Sangat mungkin hal semacam itu membuat pemain patah semangat atau setidaknya menjadi beban pikiran mereka. Itu bisa membuat permainan mereka tak maksimal saat bertanding. Membuat mereka berpikir ulang untuk membela tim nasional lantaran menganggap fan  Indonesia brutal dalam melakukan serangan psikologis.

Setelah kejadian itu sebagian fan tim nasional Indonesia masih saja melakukan hal bodoh dan memalukan. Mereka menyerang akun media sosial tim nasional Guinea U-23 secara membabi buta setelah Garuda Muda takluk 0-1 dan Guinea gagal lolos ke Olimpiade Paris.

Hujatan demi hujatan itu dialamatkan sebagai buntut kepemimpinan wasit yang dinilai tidak fair dan para pemain Guinea yang dipandang menerapkan trik mudah jatuh selama pertandingan. Banyak warganet Indonesia melancarkan hujatan berbau rasis.

Situasi tak sehat itu sampai membuat PSSI turun tangan dengan menyerukan kampanye antirasisme dalam sepak bola. Reaksi berlebihan lagi-lagi ditunjukkan fan tim nasional Indonesia kala menghujat Como 1907 di media sosial. Como adalah tim Serie B Liga Italia yang memastikan promosi ke Serie A musim depan.

Serangan itu dilancarkan setelah perwakilan klub Como menyampaikan statement bahwa pemain tim nasional Indonesia, Tom Haye, tidak memenuhi standar untuk mengangkat performa tim yang akan berlaga di Serie A. Sebagian warganet Indonesia lalu mendoakan klub milik pengusaha tajir Indonesia, Hartono bersaudara, itu terdegradasi ke Serie B musim depan.

Masalah nonteknis yang melibatkan fan sepak bola di Indonesia hingga saat ini belum menemukan solusi. Kelakuan mereka di ruang digital tak bisa dikendalikan. Setiap individu bisa dengan mudah membuat akun bodong untuk melancarkan serangan digital.

Kondisi ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan ada pihak yang sengaja membangun situasi semacam ini untuk menjegal tim nasional Indonesia dan PSSI. Pihak yang kepentingannya terganggu dengan sistem yang dibangun pengurus PSSI saat ini.

Bukan rahasia lagi bahwa ada mafia-mafia sepak bola di negeri ini. Ruang gerak mereka semakin sempit setelah PSSI dipimpin Erick Thohir yang memiliki jaringan internal dan eksternal sangat luas. Terlepas dari kecurigaan itu, fan tim nasional Indonesia memang masih harus belajar dewasa.

Mencintai tim nasional mestinya tak bersyarat. Mencintai jangan hanya saat tim nasional meraih kemenangan. Jangan hanya memberi pujian dan sanjungan ketika hasil akhir pertandingan sesuai harapan, tetapi saat kalah dicaci maki. Dalam kondisi kalah, para pemain justru membutuhkan lecutan semangat agar secepatnya bangkit.

Para fan juga harus banyak belajar dari pemain tim nasional yang saat ini terlihat sudah dewasa dalam menghadapi situasi buruk sekalipun di lapangan. Setidaknya ini ditunjukkan dalam pertandingan selama Piala Asia U-23 2024 atau ajang lain sebelumnya.

Pemain tak melakukan protes berlebihan yang merugikan tim nasional dan PSSI saat diganjar kartu merah, meski keputusan wasit kontroversial. Pemain juga hanya bereaksi biasa saat terjadi ketegangan dengan pemain lawan, tak sampai adu jotos.

Tentu ini berkebalikan dengan pemain liga domestik, terutama di Liga 2 atau Liga 3. Bentrok antarsuporter, antarpemain, atau pemain dengan perangkat pertandingan masih terjadi. Seperti air laut, membicarakan sepak bola tak pernah ada habisnya.



Ini wajar mengingat sepak bola adalah olahraga paling dicintai dan populer di dunia. Mencintai sepak bola harus memakai logika. Cinta yang brutal tak akan membawa pemain, klub, atau tim nasional menjadi lebih baik. Aktualisasi cinta yang membabi buta akan merugikan mereka.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya