SOLOPOS.COM - Ilustrasi komodifikasi pendidikan tinggi. (berdikarionline.com)

Panitia kerja atau panja pembiayaan pendidikan yang dibentuk Komisi X DPR mulai bekerja. Mereka berupaya mencari penyebab kenaikan uang kuliah tunggal atau UKT yang menyebabkan pendidikan tinggi berbiaya makin mahal.

Panitia kerja pembiayaan pendidikan dibentuk Komisi X DPR merespons kontroversi dan protes dari kalangan mahasiswa tentang kenaikan UKT yang terjadi di banyak perguruan tinggi. UKT menjadi masalah laten. Tiap tahun mengemuka. Tiap tahun pula kalangan mahasiswa memprotes.

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Isu UKT menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk partai politik, ketika muncul kebijakan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi tentang biaya operasional pendidikan tinggi yang kemudian direspons banyak perguruan tinggi dengan kebijakan menaikkan UKT.

Harapan publik negeri ini adalah panitia kerja pembiayaan pendidikan yang dibentuk Komisi X DPR berhasil mengungkap realitas konstruksi dan alokasi biaya pendidikan dalam APBN, sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, di negeri ini.

Setidaknya hasil kerja panitia kerja bisa menjadi wawasan bagi publik untuk memahami seberapa efektif anggaran yang disalurkan negara di sektor pendidikan, khususnya di sektor pendidikan tinggi.

Hasil kerja panitia kerja pembiayaan pendidikan harus bisa mengungkap apa penyebab mendasar biaya pendidikan, terutama pendidikan tinggi, kini makin mahal, bahkan sangat mahal. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran 20% APBN untuk sektor pendidikan.

Alokasi anggaran pendidikan pada APBN 2024 senilai Rp665,02 triliun. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi hanya mengelola Rp98,9 triliun atau setara 15% dari anggaran pendidikan itu.

Sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk  kebutuhan transfer ke daerah, yaitu senilai Rp346,5 triluan atau 52% dari anggaran pendidikan. Panitia kerja pembiayaan pendidikan harus mengungkap seberapa efektif alokasi dana transfer ke daerah itu mengurangi beban biaya pendidikan di Indonesia.

Urusan pendidikan tinggi tetap bagian kewajiban pemerintah. Pendidikan tinggi kini seharusnya tidak diposisikan sebagai sektor kebijakan tersier, kendati dalam wacana hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan atau ekosob posisi pendidikan tinggi memang menjadi kebutuhan tersier.

Pemerintah seharusnya mengurusi pendidikan, sebagai kewajiban pemerintah memenuhi hak dasar warga negara, secara holistik. Urusan pendidikan tentu saja mencakup pendidikan sejak  usia dini hingga pendidikan tingggi.

Keistimewan pendidikan tinggai adalah ”tidak wajib” bagi warga negara. Artinya hanya calon mahasiswa yang lolos seleksi kemampuan akademis atau intelektual yang boleh menjalani kuliah di perguruan tinggi. Ini artinya siapa saja boleh mengakses pendidikan tinggi.

Ketika calon mahasiswa yang memenuhi syarat kemampuan akademis atau intelektual itu berasal dari keluarga miskin, pemerintah yang harus turun tangan menjamin akses ke pendidikan tinggi hingga tuntas.

Pendidikan tinggi harus menjadi arus besar pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Hasil kerja panitia kerja pembiayaan pendidikan hendaknya menjadi titik tolak mengubah fundamen tata kelola sektor pendidikan di negeri ini dari yang business as usual menjadi kreatif dan inovatif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya