SOLOPOS.COM - Ilustrasi jurnalisme investigasi. (MFWA)

Dewan Pers dan seluruh komunitas pers di Indonesia menolak isi draf Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran. RUU ini adalah inisiatif DPR untuk menggantikan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Dewan Pers dan seluruh komunitas pers Indonesia menghormati rencana revisi UU Penyiaran, tetapi mempertanyakan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU tersebut.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Revisi Undang-undang Penyiaran memang keniscayaan. Perkembangan teknologi penyiaran dan perkembangan platform penyiaran meniscayakan perubahan regulasi. Setidaknya harus ada regulasi yang adaptif dengan semua perkembangan itu.

RUU Penyiaran inisiatif DPR tersebut jelas mengancam independensi pers. Dewan Pers dan komunitas pers Indonesia mengkritik proses penyusunan RUU tersebut yang sejak awal tidak melibatkan Dewan Pers, padahal dunia penyiaran adalah bagian integral dari pers.

Dalam ketentuan proses penyusunan undang-undang wajib melibatkan partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan. Ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.

Salah satu ancaman serius terhadap kemerdekaan pers di Indonesia yang termuat dalam RUU Penyiaran adalah larangan penayangan hasil jurnalisme investigasi. Ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pers yang menyatakan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran.

Jurnalisme investigasi dapat memenuhi kebutuhan publik akan informasi yang dapat dipercaya. Ketika penyiaran jurnalisme investigasi dilarang, masyarakat hanya akan mendapat berita-berita seremoni, berita-berita sensasional, berita-berita nirmakna alih-alih berita-berita yang menyajikan telaah atas suatu fakta dengan kritis.

Larangan penyiaran program investigasi dalam draf RUU Penyiaran pada dasarnya membatasi kapasitas paling unggul dari jurnalis dan jurnalisme karena tidak semua awak media dapat melakukan investigasi dengan efektif.

Larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers, padahal jelas tertera dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a Undang-undang Pers bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, termasuk campur tangan pemerintah.

Kebebasan pers pada dasarnya adalah kontrol untuk perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-undang Penyiaran memang harus relevan dengan perkembangan teknologi digital untuk menghadapi tantangan jurnalisme tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.

Revisi Undang-undang Penyiaran harus memiliki kapasitas untuk melindungi masyarakat dari penyebaran hoaks dan informasi yang menyesatkan yang semakin merajalela, tanpa mengorbankan kebebasan pers.

Masyarakat tetap harus memiliki hak penuh untuk mendapatkan akses ke informasi yang seluas mungkin. Tidak boleh ada sensor terhadap jurnalisme. Draf RUU penyiaran yang kontroversial itu harus dicabut karena akan merugikan publik secara luas.

Penyusunan RUU Penyiaran jangan sampai melenceng dari tujuan semula, yakni untuk menghalau dampak buruk perkembangan teknologi yang sangat pesat. Revisi UU Penyiaran harus dimulai lagi dari awal dengan melibatkan partisipasi penuh makna dari seluruh pemangku kepentingan pers Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya