SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO –“Singkirkan  tanganmu! Pedang itu menipumu,” ujar Sang Guru kepada Paulo Coelho de Souza, novelis kenamaan asal Brasil yang masyhur karena The Alchemist pada malam hari 2 Januari 1986 di puncak Pegunungan Serra do Mar.

Semestinya malam itu Paulo dinobatkan menjadi guru Ordo Regnus Agnus Mundi (RAM). Ia  gagal dalam ujian terakhir. Saat Sang Guru hendak memberikan sebilah pedang sebagai simbol status baru, Paulo menerimanya.

Promosi Piala Dunia 2026 dan Memori Indah Hindia Belanda

Bagi Sang Guru, sikap itu representasi ambisi dan nafsu Paulo mendapatkan status baru sebagai guru. Semestinya Paulo menolak, menandakan kemurnian niat. Plot dalam novel The Pilgrimage itu menjadi awal kisah Paulo melakukan perjalanan panjang di wilayah perbatasan Spanyol dan Prancis selatan.

Kegagalan mendapatkan “pedang” mendorong melakukan perjalanan spiritual menapak tilas jalan misterius menuju Santiago. Oleh pemandu bernama Petrus, Paulo dipaksa menanggalkan semua benda berharga. Hanya pakaian dan bekal seadanya.

Perjalanan sepenuhnya dilakukan berjalan kaki untuk menyelami berbagai pengalaman spiritual aneh dan berbagai ritual. Hanya satu tujuan, menjadi pribadi sederhana dan rendah hati, bahkan ketika harus berhadapan dengan iblis sekalipun.

Dalam berbagai keyakinan keagamaan, perjalanan spiritual diwujudkan dalam ziarah. Siapa pun bisa menempuh perjalanan ziarah itu, tetapi yang mereka dapatkan bisa berbeda-beda. Dalam Islam, ada ibadah haji yang menjadi rukun kelima dan menandakan sebagai ibadah “final”.

Haji terdiri atas rangkaian perjalanan suci yang mengandung makna mendalam. Selalu ada pelajaran dari setiap perjalanan awal hingga akhir. Sebelum memulai prosesi haji, seluruh jemaah harus menanggalkan semua atribut dan baju kebesaran.

Mereka hanya diperkenankan mengenakan kain putih tanpa jahitan, membalut badan mirip kain pembalut jenazah. Saat menjalani tawaf mengelilingi Kakbah, setiap orang menghadapi tantangan kelelahan fisik di bawah cuaca panas dan kerumunan jutaan manusia.

Itu wajib dijalani seperti yang dilakukan oleh Ibrahim pada masa lalu. Ada pula sai berupa lari-lari kecil dari Safa ke Marwa adalah menapak tilas perjalanan berat Hajar mencari air untuk bayinya bernama Ismail.

Perjalanan sai tidak ada apa-apanya dibandingkan situasi genting yang dihadapi Hajar kala itu, mencari setetes air sendirian demi bertahan hidup bersama sang bayi di tengah gurun. Setiap ritual pasti ada maknanya dan manusia diminta mengambil setiap pelajaran.

Manusia bisa mendapatkan pengetahuan kognitif tentang peristiwa masa lampau melalui jejak sejarah. Pengetahuan saja tidak cukup. Manusia harus menjalani pengalaman serupa untuk bisa mendapatkan pelajaran.

Itulah fungsi ziarah, memberikan pengalaman spiritual, menapak tilas. Ziarah semestinya menciptakan manusia-manusia yang sederhana, rendah hati, egaliter, dan menghargai semua makhluk di dunia.

Setiap tahun, ratusan ribu orang berangkat dari Indonesia menjalani haji. Dalam realitas, tidak semua manusia yang menjalani mendapatkan pelajaran berharga itu.

Kehendak Berkuasa

Pengalaman spiritual yang dituliskan Paulo menunjukkan sulit menjadi pribadi sederhana dan rendah hati. Kerendahan hati bisa menjadi manifestasi spiritualitas manusia di level tertinggi.

Untuk menjadi rendah hati, manusia harus menanggalkan ego dan nafsu, termasuk nafsu berkuasa. Kekuasaan adalah nafsu terbesar manusia. Menguasai kekayaan, menguasai orang lain, menaklukkan alam semesta.

Dalam konsep will to power (kehendak berkuasa) Friedrich Nietzsche, keinginan berkuasa adalah dunia itu sendiri.

This world is the will to power—and nothing besides! And you yourselves are also this will to power—and nothing besides [dunia ini adalah keinginan untuk berkuasa—dan tidak lebih dari itu! Dan Anda sendiri juga memiliki keinginan untuk berkuasa—dan tidak lebih dari itu],” kata Nietzsche.

Menjadi sederhana dan rendah hati adalah proses melawan nafsu terbesar manusia. Beribadah haji, berziarah, menapak tilas, dan berbagai perjalanan spiritual adalah proses melawan kehendak berkuasa di dunia.

Tokoh-tokoh revolusioner muslim dunia muncul setelah melakukan perjalanan spiritual bernama haji. Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah—memimpinn pergerakan setelah menyelesaikan masa belajar dan menunaikan ibadah haji.

Hasyim Asy’ari—pendiri Nahdlatul Ulama—menerbitkan fatwa ibadah haji tidak wajib sebagai wujud perlawanan terhadap agresi Belanda ke Indonesia pada 1948. Saat itu memperjuangkan kemerdekaan lebih bermakna daripada menjalankan ibadah untuk kemaslahatan pribadi.

Sikap Hasyim Asy’ari bisa dibaca sebagai kritik atas pandangan sebagian besar muslim Indonesia yang menganggap haji sekadar menggugurkan kewajiban atau demi mengejar kesempurnaan pribadi.

Anggapan demikian tentang haji tentu mereduksi makna haji sebagai perjalanan spiritual. Kini, pandangan yang sama masih melekat pada benak banyak muslim di Indonesia. Daftar antre calon haji adalah bukti nyata banyak orang yang telah menunaikan haji belum bisa melepaskan keinginan personal menjadi “haji” berkali-kali.

Ada hak yang orang lain dikorbankan jika seseorang ingin berangkat haji berkali-kali. Ini tak sejalan dengan pribadi sederhana dan rendah hati yang semestinya tercermin dari orang di puncak spiritualitas.

Yang lebih serius adalah ketika manusia melawan kehendak berkuasa atas manusia lain. Ada banyak politikus yang berupaya memelihara kekuasaan dan jabatan dengan segala cara. Sebagian pernah berhaji.



Tentu bukan salah ajarannya. Semua orang bisa melakukan perjalanan, tetapi tidak semua mampu mendapatkan pelajaran spiritual, tergantung tingkat kesadaran masing-masing.

Dalam teori kesadaran Paulo Freire, ada tiga level kesadaran, yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Kesadaran magis adalah kesadaran saat seseorang mulai belajar tanpa tahu fungsi belajar bagi dirinya.

Pada level kedua atau kesadaran naif, masyarakat mampu membuat hubungan sederhana dari satu masalah dengan masalah yang lain. Meski demikian, mereka belum mampu melihat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari setiap masalah.

Level tertinggi adalah kesadaran kritis, yaitu saat masyarakat aktif terlibat dalam setiap realitas di lingkungan sekitarnya. Manusia di level ini memiliki kemampuan menafsirkan masalah secara rasional sehingga bebas dari irasional.

Perjalanan spiritual, termasuk beragama, membutuhkan kesadaran. Jika kehidupan kita jauh dari kesederhanaan, jauh dari penghargaan terhadap hak manusia, dan jauh dari kemanusiaan, jangan-jangan kita beragama tanpa kesadaran.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya