SOLOPOS.COM - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kisah horor dalam cerita novel, pertunjukan rumah hantu, konten di media sosial, hingga adegan film selalu mengundang antusiasme warga. Horror is big business. Masyarakat rela membayar untuk sekadar menikmati sensasi horor dan menakutkan.

Tontonan horor sengaja dirancang untuk membangkitkan emosi negatif. Biar bagaimana pun kisah horor jadi bagian bisnis besar. Film horor menjadi salah satu bentuk hiburan yang paling umum dicari penonton dan tentu saja menguntungkan produser film.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Ketika menyaksikan film horor, tubuh merespons dengan sejumlah gejala, seperti meningkatnya denyut jantung, bulu kuduk merinding, pernapasan terasa lebih cepat, hingga keluar keringat dingin.

Respons ini seperti halnya mekanisme fight of flight atau reaksi tubuh saat menghadapi situasi tertentu, misalnya sebuah ancaman atau mendapat pengalaman tak mengenakkan. Mengapa orang suka menonton film horor meski memberi efek menakutkan?

Haiyang Yang, seorang ilmuwan dari Johns Hopkins Carey Business School, menyebut salah satu faktor pendorong orang menonton film horor adalah munculnya rangsangan atau stimulasi.

Adegan menakutkan seperti insiden kerasukan setan atau serangan makhluk asing dapat memberi rangsangan atau stimulasi secara mental maupun fisik. Pengalaman menyaksikan adegan ini bukan hanya menimbulkan perasaan negatif seperti ketakutan atau kecemasan, tetapi juga menghadirkan perasaan positif karena merasa terhibur.

Perasaan negatif berupa ketakutan saat menyaksikan film horor dapat meningkatkan adrenalin yang pada akhirnya menghasilkan sensasi kepuasan atau kebahagiaan tersendiri. Horror is big business. Sejumlah produsen film, tak terkecuali di Indonesia, berlomba-lomba membuat film horor.

Film horor itu diangkat dari kisah nyata, seperti KKN di Desa Penari dan Vina: Sebelum 7 Hari, adalah bukti horor adalah bisnis besar. Dalam sebuah wawancara, CEO dan pendiri MD Pictures, Manoj Punjabi, menyebut masyarakat Indonesia sangat terobsesi film-film horor.

Walau sulit diterima akal sehat, Manoj menyebut cerita-cerita horor cenderung mudah diyakini kebenarannya oleh masyarakat Indonesia. Horror is very relatable. Mereka percaya. Mereka mungkin pernah melihat kesurupan, meski mereka percaya atau tidak percaya. Gampang dicerna.

Tak mengherankan kini cukup banyak film horor, apalagi yang diilhami kisah nyata, laris manis saat diputar di layar lebar. Penonton film horor di Indonesia hampir selalu dominan dibandingkan penonton film genre aksi. Miliaran rupiah mengalir dari bisnis yang menakutkan, namun juga membahagiakan itu.

Horror is big business. Tak hanya bagi produsen film, kreator konten di media sosial,  dan media massa pun berlomba-lomba mendapat “cipratan” berkah dari kesuksesan film Vina: Sebelum 7 Hari.

Apabila kita berselancar di media sosial, cukup banyak konten yang membahas kasus pembunuhan Vina. Kreator konten pemula hingga yang sudah punya nama sama-sama menyajikan konten tentang spekulasi kelanjutan kasus pembunuhan Vina dan Eki oleh sekelompok geng motor yang terjadi di Cirebon delapan tahun lalu.

Sebagian kreator konten menyampaikan opini yang berlebihan tanpa dasar yang valid. Mereka membuat spekulasi hanya berdasar gosip warganet. Tentu saja opini berkembang menjadi liar dan berpotensi menyesatkan masyarakat luas.

Sejumlah media massa online, cetak, hingga televisi juga mengeksplorasi kasus pembunuhan sejoli asal Cirebon itu. Ketika menjadi perhatian publik, mau tidak mau media massa turut mengawal kasus pembunuhan Vina yang mandek selama delapan tahun.

Respons kuat masyarakat serta pemberitaan yang masif di media massa setelah peluncuran film Vina: Sebelum 7 Hari mendorong kepolisian membuka kembali penanganan kasus pembunuhan yang delapan tahun belum bisa dituntaskan.

Pelimpahan penanganan dari Polres Cirebon ke Polda Jawa Barat menjadi langkah maju kepolisian untuk menuntaskan kasus ini. Mengikuti perkembangan kasus pembunuhan Vina ibarat mengurai benang kusut.

Bukan sekadar berpegangan pada prinsip horror is big business, penuntasan kasus pembunuhan Vina telah menjadi gerakan sosial yang mendorong penegakan hukum yang seadil-adilnya. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai bobot kesalahan.

Ruwet memang karena ekspektasi masyarakat jauh berbeda dengan yang dilakukan aparat kepolisian. Egi atau Pegi yang sebelumnya disebut-sebut sebagai aktor utama dalam kasus pembunuhan Vina yang berlatang belakang anak pejabat, pada kenyataannya dihadirkan polisi sebagai buruh serabutan.

Publik telanjur percaya tersangka utama kasus pembunuhan Vina adalah anak orang penting seperti pejabat kepolisian. Setidaknya informasi itulah yang disebutkan dalam rekaman audio saat Linda kerasukan arwah Vina, jauh sebelum film itu dibuat oleh rumah produksi Dee Company.

Walau sulit diterima akal sehat dan dibuktikan secara empiris, seperti kata Manoj, horror is very relatable. Cerita-cerita horor cenderung mudah diyakini kebenarannya oleh masyarakat Indonesia.

Sebagian masyarakat percaya arwah Vina benar-benar telah merasuki tubuh Linda hingga seolah-olah mengungkap fakta. Mau percaya atau tidak, masyarakat berharap polisi bisa menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.

Bagi polisi, ini menjadi tantangan berat karena harus menjawab kegelisahan masyarakat secara luas terkait kelanjutan penanganan kasus pembunuhan sejoli itu. Reputasi kepolisian benar-benar dipertaruhkan apabila salah mengambil keputusan mengingat opini yang berkembang di masyarakat begitu liar.

Bagi Dheeraj Kalwani selaku produser film, ini menjadi peluang untuk meraup omzet besar. Hingga Senin (27/5/2023), film ini telah disaksikan 5 juta orang di layar lebar pada dua pekan pertama dengan total pendapatan kotor mencapai Rp200 miliar.

Ini dengan asumsi harga tiket bioskop di Indonesia rata-rata Rp40.000/lembar. Pendapatan yang begitu fantastis. Horror is big business.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya