SOLOPOS.COM - Nazaruddin Latif(Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Peringatan hari kelahiran Pancasila tiap 1 Juni mengingatkan pentingnya mengkritik diri sendiri atas perjalanan bangsa ini, terutama dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan.

Salah satu pertanyaan penting yang bisa diungkapkan adalah sejauh mana teks Pancasila itu kita amalkan? Pertanyaan tersebut bukan sekadar retorika, namun persoalan mendasar yang selalu mengingatkan capaian pengejawantahan Pancasila dalam kehidupan.

Promosi Primata, Permata Indonesia yang Terancam Hilang

Terminologi pembangunan dalam pengertian yang luas tidak bisa dibebankan hanya kepada penyelenggara negara. Semua elemen bangsa sesuai peran dan kapasitas masing-masing terlibat aktif di dalamnya.

Teks Pancasila hadir tidak dalam situasi yang kosong atau tanpa persoalan yang mendasari. Pemikiran mendalam dari para penggagas, perumus, dan pendiri negara saat itu menyiratkan persoalan dan situasi yang dihadapi, serta perenungan panjang akan perjalanan bangsa ke depan.

Para pendiri bangsa begitu cerdas dan bijaksana merumuskan teks yang apik, terstruktur, sarat muatan nilai mendalam, lebih mengutamakan kepentingan yang besar, merajut kesinambungan dan keutuhan pembangunan bangsa.

Keberadaan satu sila dengan sila lainnya saling terhubung, menguatkan, dan saling memberi makna. Sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa” merupakan roh dan sekaligus menuntut setiap warga negara mengamalkan sampai terwujudnya empat sila lainnya.

Pengakuan Indonesia bukan sebagai negara agama, atau hanya mengakui eksistensi salah satu agama saja, terutama tertuang dalam peraturan untuk seluruh warga negara.

Demikian sebaliknya, Indonesia juga bukan negara sekuler, yang memisahkan semua persoalan dari agama. Keragaman agama yang dipeluk masing-masing warga, senantiasa ditaati ajarannya, dan terpancar dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tanpa upaya tersebut, tingkat religiositas seseorang masih dalam batas ruang yang sempit. Sekarang, persoalan penting yang tidak boleh ditinggalkan adalah mengamalkan nilai-nilai sila pertama tersebut terhadap empat sila lainnya dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama, relasi religiositas terhadap kemanusiaan yang adil dan beradab adalah menghormati harkat dan martabat manusia. Memperlakukan manusia tanpa membedakan status sosial itu penting.

Terlebih dalam dimensi sosial semua mausia memiliki kedudukan yang sama, dalam persoalan derajat, harkat, dan martabat, serta status sesama warga negara. Tidak ada manusia yang sempurna sehingga tidak perlu menyombongkan diri merasa paling superior dan menganggap lainnya inferior.

Prinsip keadilan bukan berarti harus sama persis dalam jenis maupun porsi, tetapi semua harus proporsional berdasarkan kebutuhan masing-masing dan dilakukan dengan penuh keadaban, mengedepankan rasa hormat, dan tidak ada tujuan merendahkan.

Kedua, relasi religiositas dalam kehidupan bernegara adalah menjaga dan merawat persatuan yang diikrarkan dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa tersebut merupakan kesepakatan bersama yang dilandasi kesadaran masing-masing elemen bangsa untuk menyatukan visi perjuangan.

Menjadi keharusan bersama bagi generasi sekarang untuk melanjutkan kesepakatan tersebut dengan menjaga kelangsungannya karena itu merupakan amanah. Upaya ini bukan berarti bermaksud menegasikan realitas keragaman dan perbedaan.

Keragaman merupakan kekayaan yang senantiasa dirawat, tetapi juga harus diorientasikan untuk memperkukuh kekuatan bangsa. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, merupakan konsep menjaga persatuan di atas keragaman yang tidak bisa dibantah, dan sampai sekarang masih bisa bertahan.

Berbeda bukan berarti harus berjalan sendiri, atau bukan berarti berbeda harus berpisah, tetapi berbeda tetap menjalin kerja sama, memperkuat satu sama lainnya, untuk mewujudkan kepentingan bersama.

Ketiga, dimensi religiositas yang diterapkan dalam kerakyatan adalah mengedepankan sikap kebijaksanaan. Bagi pemegang otoritas, sikap bijaksana dilakukan dengan sering membuka kesempatan berdialog, untuk menjalin koneksitas dan kohesivitas, serta mengurangi potensi kesalahpahaman.

Ragam keinginan tidak bisa diselesaikan dengan penyeragaman, apalagi memaksa dengan disertai sikap despotik, justru menimbulkan ketidakpuasan, penolakan, dan bahkan perlawanan. Pada akhirnya mengganggu harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Keempat, kesadaran religiositas itu juga berupaya menciptakan keadilan bagi semua pihak. Adil bukan berarti menyamaratakan atau memberi sesuatu dengan porsi yang sama kepada semua.

Asas proporsionalitas dan prinsip prioritas harus dipertimbangkan untuk menjaga substansi keadilan. Lebih-lebih dalam persoalan ekonomi, pembangunan, politik, dan hak warga negara, keadilan menjadi hal yang sangat berharga, dan sensitif.

Salah dalam mengambil kebijakan berpotensi menimbulkan persoalan. Sebagai kunci merealisasikan keadilan, mengutamakan kebutuhan orang lain, dan mengakhirkan kepentingan sendiri merupakan langkah yang lebih bijak, dibanding memaksakan kehendak meskipun bertujuan baik.

Selama ini teks pancasila sering kali diperdengarkan dalam berbagai kesempatan, mulai dari saat upacara bendera, momen peringatan kemerdekaan, dan bahkan sampai forum pertemuan rutin antarwarga di tingkat rukun tetangga.

Teks lima sila tersebut selalu dibacakan dengan suasana penuh khidmat. Pertanyaan mendasar yang patut disampaikan adalah, apakah upaya tersebut sudah berhasil menyentuh hati setiap warga negara? Berdasarkan hitungan matematis dengan rutinitas pembacaan teks tersebut semestinya bisa dikategorikan berhasil.

Mengategorikan sudah berhasil atau belum tidaklah sesederhana itu. Butuh pengamatan yang mendalam tentang pengetahuan masyarakat dan juga perilaku terkait hal tersebut.



Pancasila merupakan dasar negara yang menunjukan makna bahwa seluruh sistem pemerintahan yang dibangun, meliputi kebijakan dan peraturan, senantiasa didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Seharusnya nilai-nilai Pancasila menjadi falsafah hidup semua warga negara Indonesia sehingga senantiasa menggunakan Pancasila sebagai cara pandang menyelesaikan persoalan.

Pada era digital, dengan segala kemudahan berkomunikasi dan mencari sumber referensi, menjadi tantangan bagi Pancasila. Transformasi pengetahuan dan ideologi rentan terjadi dan mudah diterima tanpa filter.

Untuk itulah, upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat harus ditingkatkan dengan memperbarui pendekatan dan promosi menjadi jauh lebih menarik dan kreatif untuk menjangkau semua kelompok umur.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Juni 2024. Penulis adalah dosen Universitas Aisyiyah di Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya