SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetyo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Frasa ”dari buku ke buku” pada judul naskah ini saya kutip dari buku karya P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, setebal 450 halaman, yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia dan Rumah Budaya Tembi pada 2002.

Saya teringat pada buku itu setelah membaca daftar 177 judul buku sastra yang masuk program Sastra Masuk Kurikulum yang diinisiasi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi pada Senin 20 Mei 2024.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Belakangan program ini menjadi kontroversi. Biasalah, program pemerintah sekarang memang tampaknya tak dipersiapkan dengan matang. Layak menjadi kontroversi. Dari Buku ke Buku saya baca berulang kali, sampai kini, termutakhir sebelum saya menulis esai ini.

Daftar 177 judul buku sastra itu membawa ingatan saya berkelana dari buku ke buku sejak kali pertama saya bisa membaca tulisan beraksara Latin.

Sebagian besar buku-buku sastra yang direkomendasikan untuk SD hingga SMA dan yang sederajat itu pernah saya baca. Sebagian saya baca ulang berkali-kali.

Sebagian saya baca ulang hingga kini, seperti novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, Gita Cinta dari SMA karya Eddy D. Iskandar, Lupus: Tangkaplah Daku Kau Kujitak karya Hilman Hariwijaya, dan sejumlah buku lainnya.

Daftar buku sastra program Sastra Masuk Kurikulum itu juga mengingatkan saya pada buku Bukuku Kakiku, setebal 450 halaman, terbitan Gramedia Pustaka Utama pada 2004.

Buku ini menghimpun tulisan 22 cendekiawan utama Indonesia—berlatar aneka profesi—bergaul dan bertualang dengan buku-buku. Bukuku Kakiku juga saya baca berulang kali, termutakhir sepekan lalu.

Dua buku itu seperti gambaran keniscayaan peradaban. Bahwa peradaban dibentuk oleh memori. Pertumbuhan memori dalam proses evolusi manusia selama ribuan tahun dirangsang oleh kata.

Kata memicu pertumbuhan otak. Kata-kata membawa manusia pada kemahiran berbahasa. Itulah yang membawa umat manusia sampai pada pencerahan, renaisans.

Bisa disimpulkan yang membawa kita sampai pada peradaban saat ini adalah bahasa. Literasilah yang membawa peradaban umat manusia, termasuk negeri kita, sampai pada kondisi hari ini yang berkelimpahan teknologi.

Literasi adalah kemampuan menulis dan membaca; pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu; kemampuan individu mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Manifestasi terbaik berkata-kata, berbahasa, literasi adalah buku. Menulis dan membaca buku meniscayakan keterampilan—bukan sekadar teknis, tetapi juga filosofis—berkata-kata, berbahasa, literasi.

Dari Buku ke Buku dan Bukuku Kakiku bukan sekadar kisah seorang bibliofil, tetapi lebih merupakan lantunan kegirangan bekerja, semangat, dan gairah hidup sang penulis, sang pencerita, berkat pesona buku.

Dengan berbuku mereka menjadi cendekia, menjadi orang-orang bermartabat, menjadi bagian simpul peradaban pada masanya. Berbuku membangkitkan perasaan, kesadaran, dan pengertian baru yang lebih kuat tentang kehidupan, yang disumbangkan oleh buku-buku.

Itulah literasi. Kini, pada peradaban yang ”konon” lebih maju, literasi malah menghadapi kebangkrutan. Literasi tersisihkan oleh digitalisasi.

Literasi yang mendorong otak manusia menghasilkan pemikiran inventif, melahirkan revolusi industri, tampaknya segera menjadi masa lalu.

Literasi yang pada era 1990-an mendorong perkembangan pemikiran subversif—dalam arti politis—di negeri ini yang melahirkan gerakan reformasi 1998, tampaknya segera menjadi zaman dulu.

Wartawan senior dan sastrawan yang buku-buku karya dia saya baca dan saya koleksi, Bre Redana, menyebut otak manusia zaman kiwari mengalami perkembangan evolusi berbeda. Otak yang berkembang dengan rangsangan digital.

Otak zaman lampau, zaman Dari Buku ke Buku dan Bukuku Kakiku, merespons realitas atau sesuatu yang nyata. Otak kiwari merespons sesuatu yang tidak nyata: simulakra, image, citra, hiper-realitas, dan lain-lain.

Otak dulu lambat, otak sekarang cepat. Otak masa lalu—sebenarnya belum ”lalu-lalu banget”—adalah rasionalitas. Otak terkini adalah delusi. Dengan citra, simulakra, image, hiper-realitas, delusi, dan kawan-kawannya itulah kita hidup.

Dampak paling mendasar adalah kemerosotan daya nalar, erosi fungsi bahasa. Di area politik, bahasa diselundupkan menjadi provokasi, agitasi, propaganda. Banyak orang baik tersingkir. Cendekiawan dikalahkan buzzer dan influencer. Berbohong menjadi laku utama.

Saya berpikir Sastra Masuk Kurikulum bisa jadi jalan mengoreksi realitas zaman ini. Memaksa generasi muda sejak dini menjalani lagi laku ”dari buku ke buku” dan menjadikan lagi ”bukuku kakiku”. Tentu pada era kiwari sangat boleh menjadi ”dari e-book ke e-book” dan ”e-book-ku kakiku”.

Syaratnya tentu saja menjadikan membaca buku (e-book) sebagai kebiasaan sehari-hari, sebagai gaya hidup. Nah, inilah yang mestinya hendak dituju Sastra Masuk Kurikulum.



Realitas menunjukkan mencapai tujuan itu sangat berat. Kini belanja buku belum juga membudaya. Pada masa lalu belanja buku belum menjadi kebiasaan mayoritas warga negeri ini, pada masa kiwari tak lagi masuk lintasan pemikiran.

Itulah sebabnya ketika kawan saya menyodorkan foto hasil karya jurnalisme dengan keterangan ”kios penjual buku makin sepi karena pembeli beralih membeli buku digital” saya menanggapi spontan dengan,”Mbellll…..!”

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya