SOLOPOS.COM - Alif Basuki (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Pemilihan kepala daerah (pilkda) secara langsung dan serempak mulai berjalan. Para calon konstestan mulai mempromosikan dan mengenalkan diri kepada publik untuk mengejar dan meningkatkan popularitas dan elektabilitas.

Pilkada di Kabupaten Boyolali pada 2019 yang menghasilkan pasangan M. Said Hidayat-Wahyu Irawan menang melawan kotak kosong membuat demokrasi di kabupaten ini mati.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Pada pilkada 2024 ini geliat keberanian di akar rumput masyarakat Kabupaten Boyolali mulai muncul untuk mengubah peta politik. Di Kabupaten Boyolali, pada pilkada 2024, menjadi calon bupati tidak cukup bermodalkan keberanian, kemauan, dan logistik.

Calon bupati harus punya karakter dan sejarah panjang dalam perjuangan politik. Calon bupati bukan yang muncul secara instan, karbitan, apalagi ”barang impor”. Ada kepentingan melawan kekuatan politik dominan di Kabupaten Boyolali yang teruji mampu menghegemoni selama hampir 15 tahun terakhir.

Kekuatan politik dominan itu tidak mungkin dilawan hanya bermodalkan semangat dan tekad. Apabila hanya demikian, pasti kalah di medan laga. Melawan kekuatan politik dominan di Kabupaten Boyolali butuh kemampuan luar dan dalam.

Kemampuan luar adalah logistik serta kekuatan partai politik pendukung. Kemampuan dalam berupa upaya batin akan memancarkan tanda-tanda sebagai sosok pemimpin perubahan di Kabupaten Boyolali.

Dalam perspektif saya, Fuadi yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golongan Karya (DPD Partai Golkar) Boyolali dan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Boyolali punya sejarah panjang melawan kekuatan politik dominan sepanjang hampir 15 tahun terakhir.

Fuadi selama tiga periode menjadi Ketua DPD Partai Golkar Boyolali dan menggunakan Partai Golkar sebagai alat politik untuk mengembalikan Kabupaten Boyolali sebagai ”kabupaten yang tersenyum”, tidak hanya di bawah kuasa kekuatan politik dominan yang homogen.

Fuadi sebagai unsur pimpinan DPRD Kabupaten Boyolali gigih memperjuangkan pemerataan pembangunan antara wilayah Kabupaten Boyolali bagian selatan dan utara yang harus seimbang.

Selama ini ada kecenderungan kesenjangan karena wilayah utara dikesampingkan dan dianaktirikan. Sebagai representasi Partai Golkar, Fuadi telah ”beroposisi” di pemerintahan Kabupaten Boyolali sejak Seno Samodra menjadi Bupati Boyolali periode pertama 2010–2015 hingga saat ini.

Artinya Fuadi berpengalaman 14 tahun memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan di Kabupaten Boyolali agar lebih baik dengan ”melawan” kekuatan politik dominan di Kabupaten Boyolali yang berjangkar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Pengalaman panjang itu mau tidak mau meneguhkan Fuadi secara tidak langsung menjadi simbol perlawanan dan pemimpin gerakan perubahan di Kabupaten Boyolali semasa dia menjabat sebagai salah satu unsur pmpinan DPRD Kabupaten Boyolali selama tiga periode.

Untuk menghadirkan perubahan dengan kepemimpinan baru di Kabupaten Boyolali tidak bisa dengan cara instan, apalagi ”mengimpor” kandidat bupati untuk melawan kandidat bupati yang didukung kekuatan politik dominan di kabupaten ini saat ini.

Kandidat ”impor”, dari luar Kabupaten Boyolali, berisiko menjadi kepala daerah yang tidak punya independensi, dalam kepemimpinannya akan mudah diintervensi pihak-pihak di luar pemerintahan, apalagi tidak punya sejarah ”berkeringat” mendorong perubahan politik dan pemerintahan di Kabupaten Boyolali.

Kemunculan sejumlah warga Kabupaten Boyolali yang menyatakan siap menjadi kandidat bupati atau kandidat wakil bupati  pada pilkada 2024 menjadikan demokrasi di kabupaten ini hidup lagi. Ada harapan besar kandidat bupati dan wakil bupati yang akan diusung kekuatan politik dominan (PDIP) tidak akan melawan kotak kosong lagi.

Semangat perubahan yang menyebar di berbagai lapisan masyarakat di Kabupaten Boyolali saat ini membangkitkan keberanian berbeda sikap dan pendapat dengan kekuatan politik dominan.

Beberapa orang di luar kekuatan politik dominan di Kabupaten Boyolali saat ini berani menyatakan siap menjadi bupati atau wakil bupati. Sebagian di antara mereka telah mendeklarasikan diri untuk menjadi calon bupati atau calon wakil bupati Boyolali.

Mereka adalah sosok-sosok yang berani dan berkarakter. Siapa pun kandidat bupati dan kandidat wakil bupati yang akan melawan pasangan kandidat bupati dan kandidat wakil bupati yang diusung kekuatan politik dominan di Kabupaten Boyolali saat ini harus sepasang petarung politik sejati yang tangguh.

Fuadi adalah salah seorang kandidat bupati yang punya karakter dan sejarah panjang melawan kekuatan politik dominan di Kabupaten Boyolali. Ia tangguh dalam pertarungan melawan kekuatan politik dominan itu pada pemilihan anggota legislatif.

Ia selalu memenangi pertarungan politik tersebut meskipun ”dibunuh” dari segala lini. Fuadi selalu lolos menjadi unsur pimpinan DPRD Kabupaten Boyolali selama tiga periode. Karakter petarung inilah yang saat ini dibutuhkan apabila ingin menjadikan pilkada 2024 sebagai pintu perubahan di Kabupaten Boyolali.

Semoga selain Fuadi ada kandidat bupati lain yang berkarakter petarung sejati yang siap memimpin gerakan mewujudkan perubahan di Kabupaten Boyolali. Yen wani aja wedi-wedi, yen wedi aja wani-wani…

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Juni 2024. Penulis adalah konsultan politik, aktivis LSM, tinggal di Boyolali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya