SOLOPOS.COM - Ria Indra Maya Sari (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Keputusan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi memasukkan sastra ke dalam kurikulum mulai tahun ajaran 2024/2025 (seharusnya) adalah angin segar bagi semua guru.

Negara-negara maju di dunia sejak puluhan tahun lalu menaruh sastra sebagai elemen penting dalam kurikulum pendidikan, seperti di Inggris yang menjadikan kalimat-kalimat puitik Shakespeare bacaan wajib sejak sekolah dasar.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Kita boleh dibilang terlambat, tetapi perubahan yang cukup progresif ini mesti kita sambut dengan optimisme tinggi sembari berharap sengkarut pendidikan mulai bisa terurai dan daya saing bangsa semakin meningkat.

Pembacaan awam mengidentikkan sastra dengan literasi, khususnya kegiatan membaca. Sayangnya kita mesti gigit jari karena menurut survei Programme for International Student Assessment (PISA) setidaknya dalam satu dekade terakhir literasi anak Indonesia masih di bawah kompetensi minimal.

Pada tahun 2022 kita duduk di peringkat ke-71 untuk membaca, meski naik tiga posisi dari tahun 2018 yang berada di urutan ke ke-74. Survei PISA jelas memberikan petunjuk bahwa kabut tebal masih menyelimuti dunia literasi kita.

Oleh kementerian, sastra diupayakan sebagai jembatan memangkas disparitas antara kaya dan miskin, menekan angka perundungan, dan memotong jarak antara negara kita dengan negara-negara maju.

Untuk itu sebetulnya kita punya nama-nama besar seperti Buya Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Marah Rusli hingga sastrawan kontemporer yang diakui jagat sastra dunia seperti Eka Kurniawan.

Sangat penting untuk diingat bahwa program sastra masuk kurikulum bukanlah jalur potong kompas yang langsung cepat terindikasi hasilnya. Konsistensi adalah hal utama di sini.

Saya mengingat, periode 2016-2020 adalah masa program literasi di sekolah-sekolah bersemi, baik sekolah negeri atau sekolah swasta. Hampir semua sekolah di semua jenjang pada masa itu membuat program literasi dengan berbagai sebutan.

Kelas literasi, pojok baca, pojok literasi, jendela baca, dan lain sebagainya. Pada kenyatannya, program-program tersebut belum memberi dampak yang signifikan bagi kemajuan pendidikan.

Penyebabnya adalah saat itu belum jelas bahan bacaan seperti apa yang mesti dibaca para siswa. Sekarang kementerian sudah mengerucutkan pada sastra.

Sastra masuk kurikulum akan diimplementasikan dalam bentuk pembelajaran kokurikuler. Kokurikuler adalah kegiatan pembelajaran yang diikuti peserta didik yang dilaksanakan untuk penguatan, pendalaman, dan/atau pengayaan mata pelajaran yang telah dipelajari dalam kegiatan intrakurikuler di kelas.

Pelaksanaan kegiatan kokurikuler dilakukan sebagai bagian upaya untuk mengoptimalkan penguatan pendidikan karakter pada siswa.

Merujuk pernyataan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Anindito Aditomo, pada program sastra masuk kurikulum pemerintah meminta sekolah beserta guru-guru memasukkan unsur sastra melalui buku-buku sastra yang daftarnya disediakan oleh kementerian

Daftar buku atau karya sastra yang direkomendasikan seluruhnya telah dikaji cukupan dan pemaknaannya. Untuk bacaan yang dinilai lumayan berat diberikan kepada pelajar jenjang tertinggi atau SMA dan yang sederajat.

Sedangkan buku sastra untuk pelajar tingkat dasar direkomendasikan bacaan dengan jenis dongeng, cerita pendek, dan semacamnya.

Harapannya sekolah diberi kebebasan mengemas sastra masuk kurikulum dalam rupa kegiatan yang bermakna, berkesan, dan bermemori kuat. Jangan sampai seperti tahun-tahun yang lampau ketika literasi di sekolah sekadar ingar bingar atau rutinitas belaka tanpa makna terjadi lagi.

Kegiatan yang dikemas guru diharapkan menjadikan siswa cakap berliterasi, dalam arti memiliki pembacaan yang baik dan keterampilan menulis.

Ketika siswa memiliki kecakapan literasi, kemampuan logika analitis mereka akan tumbuh, memiliki pemikiran yang sistematis, teliti serta inovatif dalam mencipta.

Catatan penting dari inisiatif yang begitu baik dari kementerian ini adalah—agak disayangkan—terkesan buru-buru diterapkan dari pusat ke bawah sehingga di kalangan guru-guru menjadi bola liar dan isu kontroversial.

Bumerang

Saya khawatir kesan belum matang ini menjadi bumerang bagi tujuan mulia sastra masuk kurikulum. Kebijakan pendidikan yang terkesan belum matang tidak hanya kali ini saja, bahkan di kalangan guru-guru saat ini sampai muncul istilah ya gek digodhog dhewe yang artinya ayo segera direbus sendiri.

Dalam bayangan saya, guru-guru yang menjadi ujung tombak program ini sebelumnya telah dibekali lebih dulu pengetahuan tentang sastra. Setidaknya dari 177 buku  yang direkomendasikan masuk program ini, setengah di antaranya sudah dikuasai oleh guru, minimal pernah dibaca sampai selesai.

Bagaimana mungkin ketika guru belum berinteraksi dengan buku-buku tersebut lalu menyampaikan kepada murid? Masalahnya, berapa banyak guru pada era digital sekarang ini yang masih asyik berjuang dalam goresan pena dan tetesan tinta?

Digitalisasipun merambah dunia guru. Saat ini begitu banyak guru yang dapat kita temui dengan konten-konten di media sosial yang bahkan diantara  mereka telah memiliki ratusan ribu followers.



Sebagai konsekuensi zaman tentu arus guru menjadi kreator konten ini tidak bisa dihindarkan. Prasangka baik saya dengan sastra masuk kurikulum adalah ini akan menambah khazanah buku bagi para guru, tidak hanya buku pegangan guru yang isinya berupa penjelasan teknis dari buku untuk siswa (buku paket).

Semoga guru-guru kembali bermesraan dengan buku. Literasi adalah kemampuan menulis dan membaca, pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu, kemampuan individu mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Merujuk pada definisi ini berliterasi artinya tidak lain menjadi kaum yang literat, selalu asyik berinteraksi dengan buku. Jika menciptakan tulisan bermutu dirasa masih cukup sulit untuk guru secara umum, setidaknya dimulai dengan membaca buku lebih sering.

Entah dalam rupa buku sastra atau e-book sastra dari kementerian kelak akan diterima sekolah. Semoga pembacaan buku-buku sastra tersebut tak hanya menjadi ritual penggugur kewajiban.

Sembari menunggu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan sastra masuk kurikulum sebagai acuan administratif guru, guru bisa mencoba berpikir revolusioner lepas dari peranti administratif.

Sejarah mencatat kekuatan literasi sebagai motor yang mendorong pemikiran untuk bertindak reformatif, pembaruan, tidak manthuk-manthuk saja pada kekuasaan yang keliru.

Revolusi Prancis terjadi karena masyarakat Prancis memiliki budaya literasi terkuat di Eropa. Reformasi 1998 dimulai dari kejengahan kaum pembaca buku dan penyuka diskusi pada tirani kekuasaan.

Kita boleh memimpikan dengan sastra masuk kurikulum ini seorang guru akan selalu membawa satu buku. Satu guru satu buku (sagusaku) minimal pada taraf pembacaan yang baik.

Buku sastra akan menjadi teman guru di kelas, di kantor, di perpustakaan sekolah, bahkan di kantin. Pada era peradaban yang konon lebih maju ini kita tak hendak menyaksikan literasi padam hingga mati di tempat kelahiran para cerdik cendekia, yakni sekolah.

Dimulai dengan guru berbuku kita akan melahirkan cendekiawan, membentuk karakter orang-orang yang bermartabat yang kelak akan menjadi pemimpin peradaban bangsa ini.

Kita mesti optimistis dengan sastra akan memperkaya jiwa. Dengan sastra masuk kurikulum kita dapat menuju generasi Indonesia emas, bukan generasi Indonesia cemas. Inilah yang diharapkan ketika sastra, buku, dan guru bertemu.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Juni 2024. Penulis adalah guru di SDN Ngepringan 1, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya