SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemberantasan korupsi. (freepik.com)

Belum lama ini Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Nurul Ghufron memperlihatkan dengan sangat gamblang contoh buruk.

Dia diduga melanggar kode etik KPK dalam proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian. Perkara itu ditangani Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Ghufron sengaja mangkir dari pemanggilan Dewas KPK.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Dia juga menggugat Dewas KPK dan menggugat peraturan tentang Dewas KPK. Ghufron mangkir dari panggilan Dewas KPK dengan dalih proses sidang etik untuk dirinya di Dewas KPK tentang dugaan penyalahgunaan wewenang di Kementerian Pertanian seharusnya tidak dilanjutkan karena sudah kedaluwarsa.

Ia tidak datang memenuhi panggilan sidang etik di Dewas KPK juga dengan alasan karena sedang mengajukan gugatan terhadap Dewas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN dan mengajukan uji materi tentang peraturan Dewas KPK ke Mahkamah Agung.

Kasus Nurul Ghufron di KPK ini menunjukkan lembaga antikorupsi ini memang sedang dalam deraan masalah akut. Seorang komisioner lembaga antikorupsi diduga melanggar kode etik dan secara sengaja mangkir dari sidang etik, ini menunjukkan pelanggaran etik yang berlipat-lipat.

Logika umum akan berkesimpulan bahwa dia memang benar melanggar kode etik. Kalau dia baik-baik saja, tidak melanggar kode etik, buat apa repot-repot menggugat Dewas KPK dan mangkir dari panggilan Dewas KPK?

Beberapa waktu lalu Dewas KPK membongkar praktik pungutan liar atau pungli di rumah tahanan atau rutan KPK yang melibatkan sedikitnya 78 pegawai KPK. Pungutan liar adalah salah satu modus korupsi.

Lucu sekaligus ironis, bahkan menjengkelkan, di lembaga antikorupsi para pegawainya malah beramai-ramai korupsi. KPK akhirnya memecat 66 orang di antara mereka. KPK sebagai institusi kini menanggung beban sangat berat.

KPK kini lebih menyerupai sapu kotor, bukan lagi sapu bersih. Menyapu halaman atau lantai rumah dengan sapu kotor, dilakukan berapa kali pun, tak akan membersihkan halaman atau lantai itu.

Memercayakan pencegahan dan pemberantasan korupsi kepada KPK yang komisionernya melanggar kode etik dan pegawainya korupsi tentu tak akan menghasilkan apa-apa. Yang terjadi malah korupsi makin subur, dipupuk oleh lembaga antikorupsi.

Keteladanan pemimpin yang absen membuat lembaga antikorupsi ini menjadi makin lemah. KPK butuh pemimpin yang memiliki standar integritas tinggi, bukan pemimpin yang gampang melakukan pelanggaran.

Mengganti seluruh komisioner KPK dan membersihkan korps pegawai KPK dari para pegawai lancung adalah pilihan paling logis. Tentu proses pemilihan komisioner baru KPK harus transparan dan akuntabel.

Pemilihan komisioner KPK yang lebih banyak berlangsung di ”ruang gelap”, menghindari pantauan masyarakat sipil, dan pekat dengan politisasi terbukti menghasilkan KPK yang sarat masalah. Apakah pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 punya kemauan menguatkan KPK?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya