SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri tekstil dan produk tekstil. (Bisnis-Nurul Hidayat)

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) menghantam industri tekstil dan produk tekstil di banyak daerah, termasuk di Jawa Tengah. Catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah menunjukkan PHK di industri tekstil di Jawa Tengah masih berlanjut hingga 2024 ini.

Apindo menyebut para pengusaha telah berusaha tidak ada PHK, tapi kenyataan menunjukkan mereka tak bisa menghindari PHK. Apindo Jawa Tengah menyatakan industri tekstil dan produk tekstil, termasuk alas kaki, saat ini memang dalam masa sulit.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Penyebab mendasar pukulan hebat yang dialami industri tekstil dan produk tekstil adalah impor legal dan ilegal yang marak. Daya saing yang kurang juga penyebab mendasar sebagian pabrik tekstil tumbang.

Pabrik tekstil mengimpor bahan baku dengan harga dolar Amerika Serikat dan kini nilai tukar dolar Amerika Serikat terus meningkat dibandingkan rupiah. Ini menimbulkan biaya produksi lebih mahal sehingga menurunkan daya saing.

Kondisi tersebut memprihatinkan mengingat industri tekstil merupakan sektor padat karya yang berperan krusial di Indonesia. Industri ini tidak hanya menyerap banyak tenaga kerja, tetapi juga berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan sandang, menyumbang devisa negara, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Masalah internal industri tekstil berkaitan dengan efisiensi produksi. Sejak awal industri tekstil dan produk tekstil di Indonesia memiliki fondasi lemah. Ketergantungan yang tinggi pada bahan mentah dan bahan baku impor serta mesin-mesin tekstil yang didatangkan dari luar negeri membuat industri tersebut sangat rentan.

Keunggulan kompetitif biaya tenaga kerja murah kini memudar seiring meningkatnya posisi tawar serikat pekerja. Beberapa pabrik tekstil di Indonesia memilih strategi memindahkan operasional ke daerah-daerah dengan upah minimum yang lebih rendah untuk mengurangi biaya produksi.

Industri tekstil semakin tidak sehat karena efisiensi hanya sebatas upah buruh. Upah minimum yang naik signifikan setiap tahun berdampak serius pada industri padat karya yang mengalami penurunan order.

Ini berkelindan dengan gejolak geopolitik global ditambah serbuan barang impor dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Salah satu upaya mendukung keberlangsungan industri tekstil adalah revitalisasi segi regulasi atau produksi tekstil.

Perlu kebijakan khusus dalam penetapan upah minimum di sektor industri padat karya yang mempertimbangkan produktivitas. Penetapan upah minimum jangan lagi berdimensi politis. Para pemangku kepentingan harus memikirkan kondisi khusus industri padat karya yang berbeda dengan industri padat modal.

Tak kalah penting, industri tekstil harus mendapat dukungan agar efisien dari sisi alat maupun teknologi. Tak ada salahnya belajar dari pelaku usaha tekstil di China, Bangladesh, Vietnam, Pakistan, dan India yang melakukan inovasi pengembangan produk dengan mengombinasikan teknologi baru dan penggunaan bahan mentah baru.

Industri tekstil perlu menonjolkan semangat dan ciri khas lokal untuk membedakan diri dengan produk asing yang masuk ke Indonesia. Pemerintah harus terus fokus melakukan antisipasi impor ilegal untuk membantu pabrik tekstil bertahan.

Impor ilegal sangat mengganggu pasar dalam negeri. Pemerintah harus tegas membasmi impor ilegal. Pemerintah harus memperhatikan depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat supaya kekuatan rupiah bertahan, jangan sampai inflasi naik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya