SOLOPOS.COM - Tri Wiharto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Enam hari dalam sepekan saya nyaris selalu wira-wiri melewati jalur Jogja-Solo yang melintasi empat wilayah Soloraya, yaitu Kabupaten Klaten, sebagian Kabupaten Sukoharjo, secuil Kabupaten Boyolali, dan Kota Solo.

Saya masih ingat menjelang akhir 2023 hingga awal 2024 jalur tersebut “sangat meriah”. Bukan karena pentas musik, parade, maupun pertunjukan lainnya, tetapi meriah karena di pinggir jalan tersebut berhiaskan berbagai poster berisi wajah-wajah calon pemimpin.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Saat itu memasuki fase krusial pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang menentukan presiden dan wakil presiden serta para anggota legislatif. Seluruh daya upaya tentu saja dikerahkan para calon pemimpin dan calon wakil rakyat tersebut untuk menarik simpati jutaan pemilih di Soloraya agar menjatuhkan pilihan kepada mereka atau calon yang mereka jagokan.

Hajatan besar (pemilu) itu telah berakhir dibumbui dengan dinamika, sengketa, dan drama. Kini hajatan lain telah menanti masyarakat di Indonesia, khususnya di Soloraya tempat saya menjalani kehidupan, yaitu pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pilkada secara serentak di seluruh Indonesia (termasuk di enam kabupaten dan satu kota di Soloraya) tinggal lima bulan lagi, tepatnya pada 27 Oktober 2024. Itulah hari pemungutan suara pilkada serentak 2024.

Ruang lingkup pilkada memang lebih kecil dibandingkan dengan pemilu (pemilihan presiden dan wakil presiden maupun pemilihan anggota lebislatif), tapi tetap saja pesta demokrasi.

Sampai saat ini saya masih wira-wiri melewati jalur Jogja-Solo tersebut. Saya membayangkan pesta demokrasi regional kali ini juga semeriah pemilu beberapa waktu yang lalu. Gereget atau semangat pilkada seharusnya muncul di masyarakat Soloraya.

Pilkada di Soloraya kali ini hampir pasti dihiasi persaingan calon yang diusung partai politik karena minim calon dari jalur independen. Ini artinya, meski kualitas dan kedekatan calon pemimpin dengan masyarakat sangat penting dalam tren pilkada, mesin politik partai akan sangat berperan untuk memuluskan kemenangan para calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tersebut.

Partai politik harus mampu melakukan positioning, menyerap aspirasi, dan tentu memperjuangkan kepentingan masyarakat sehingga mereka mendapat kepercayaan dari pemilih.

Pencalonan dalam pilkada yang baik adalah menyelaraskan antara kebutuhan dan kepentingan masyarakat dengan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diajukan.

Mengacu daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2024, Kota Solo punya 439.000 pemilih; Kabupaten Sukoharjo memiliki 678.576 pemilih, Kabupaten Sragen punya 760.294 pemilih; Kabupaten Karanganyar dengan 707.967 pemilih; kemudian di Kabupaten Wonogiri terdapat 845.364 pemilih;  Kabupaten Klaten dengan jumlah pemilih terbanyak di Soloraya, yaitu 971.518 orang; dan Kabupaten Boyolali dengan 825.630 pemilih.

Mereka itulah yang akan menentukan masa depan daerah masing-masing dengan menitipkan amanah kepada calon kepala daerah. Diumpamakan sepak bola, warga Soloraya akan memilih coach atau pelatih masing-masing.

Tugas pelatih tentu saja menyusun skuad terbaik dan meraciknya agar menjadi kekuatan pemenang dalam setiap pertandingan. Demikian pula dengan kepala daerah, mereka akan meracik serta mengorkestrasi semua elemen sehingga kabupaten/kota yang dipimpin menjadi pemenang dalam menghadapi setiap tantangan yang datang.

Pemimpin daerah harus siap dan mampu menampung serta mengeksekusi aspirasi masyarakat. Ketika saya masih wira-wiri di jalan yang sama, saya menyaksikan mulai muncul poster calon pemimpin untuk bersaing dalam pilkada mendatang.

Ada yang muncul secara terang-terangan (menyebut mencalonkan diri), ada pula yang masih malu-malu sekadar “cek ombak”. Memang belum meriah karena proses yang harus mereka lalui masih pada fase awal, atau jangan-jangan memang energi dan daya mereka sudah terkuras dalam Pemilu 2024.

Sebenarnya semakin sering calon pemimpin muncul akan membuat masyarakat kian mengenal. Ini cara agar mereka mendapat keyakinan terhadap “jago” yang mereka pilih nanti. Istilah gaulnya, perlu chemistry,yaitu perasaan saling terhubung yang terbangun di antara calon pemimpin dengan masyarakat yang dipimpin.

Masyarakat akan melihat, memilah, dan memilih calon yang dianggap layak memimpin sekaligus mendampingi mereka. Melihat bisa dimaknai masyarakat punya hak dan harus diberi kesempatan mengetahui siapa saja calon yang akan berkontestasi pada pilkada nanti.

Dengan demikian, masyarakat punya kesempatan pula untuk mengetahui rekam jejak calon pemimpin. Memilah adalah fase yang dilakukan setelah masyarakat mengetahui para calon pemimpin tersebut.

Dengan mengetaui rekam jejak, masyarakat punya kesempatan membandingkan calon pemimpin yang satu dengan lainnya dari sisi positif maupun negatif. Diumpakan dalam sebuah kompetisi olahraga, masyarakat punya kesempatan membuat klasemen tentang siapa yang layak duduk di peringkat pertama dengan berbagai keunggulan.

Memilih menjadi fase terakhir bagi masyarakat setelah melalui dua fase sebelumnya. Pada fase ini masyarakat punya keyakinan dalam menentukan pilihan terhadap calon pemimpin mereka berkat kesempatan melihat dan memilah tersebut.

Pilkada di Soloraya tinggal lima bulan lagi. Mudah-mudahan kemeriahan menghiasi pesta demokrasi pada akhir Oktober nanti, kemeriahan dalam arti sebenarnya. Pilkada harus dilaksanakan secara benar, lepas dari drama apalagi kecurangan, serta masyarakat menyambut secara gembira dan menjalani proses dengan senang hati. Mereka bebas melihat, memilah, dan memilih calon pemimpin yang dikehendaki.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya