SOLOPOS.COM - Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati membagikan stiker kepada ASN saat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Alun-alun Sragen, Jumat (8/12/2023). (Solopos.com/Tri Rahayu)

Rapat kerja Komisi III DPR dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (5/6/2024) mengemukakan kritik atas realitas KPK saat ini yang kehilangan kepercayaan publik, kewenangan yang tidak optimal dalam pemberantasan korupsi, dan kebutuhan menguatkan lagi KPK.

Dalam rapat kerja itu Komisi III meminta penjelasan Dewan Pengawas KPK tentang pelaksanaan fungsi pengawasan internal KPK. Komisi III meminta Dewan Pengawas KPK bersinergi dengan pimpinan KPK.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Komisi III DPR menyatakan kecewa dengan Dewan Pengawas KPK karena perseteruan antara Dewan Pengawasa KPK dan pimpinan KPK. Dewan Pengawas diperlukan karena selama ini KPK sulit dikontrol.

Ketua Dewan Pengawasa KPK Tumpak Hatorangan dalam forum rapat dengan Komisi III DPRD itu mengakui selama dua tahun terakhir sulit untuk mengakses data KPK. Ada  ketentuan dari pimpinan KPK apabila Dewan Pengawas KPK meminta data harus mengajukan dokumen kepada pimpinan KPK.

Mekanisme ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya kala Dewan Pengawas KPK cukup meminta melalui kedeputian atau sekretariat jenderal KPK maka data akan diberikan dengan mudah.

Komisi III DPR meminta Dewan Pengawas KPK meningkatkan fungsi pengawasan sumber daya manusia (SDM), terutama melalui pembangunan kesadaran etik serta pencegahan maupun penanganan perkara etik untuk mencapai KPK yang profesional, akuntabel, dan berintegritas tinggi.

Dalam rapat itu Dewan Pengawas KPK mengemukakan penilaian Undang-undang KPK memang mengandung banyak kelemahan. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyatakan Undang-undang KPK bisa direvisi lagi karena sudah berlaku lima tahun dan banyak yang komplain atas undang-undang itu.

Pembahasan dalam rapat kerja Komisi III DPR dan Dewan Pengawas KPK itu harus dimaknai sebagai ikhtiar membuka pintu untuk merevisi Undan-undang KPK yang kali terakhir direvisi pada 2019.

Revisi Undang-undang KPK pada 2019 itulah yang berefek pelemahan KPK secara sistematis. KPK yang berstatus lembaga independen setelah revisi Undang-undang KPK itu berubah status menjadi lembaga negara di rumpun eksekutif di bawah kuasa presiden.

Setelah pemberlakuan Undang-undang KPK yang direvisi pada 2019 itulah KPK menuai banyak masalah. Pimpinan melanggar etika dan tersangkut kasus pidana korupsi. Pegawai KPK terlibat kasus suap—salah satu modus korupsi—yang berdampak puluhan pegawai dipecat.

Berkaca pada kontroversi tentang kenaikan uang kuliah tunggal atau UKT dan program tabungan perumahan rakyat atau tapera yang kemudian ditunda setelah ditolak semua pihak terkait, semestinya revisi lagi Undang-undang KPK mendapatkan legitimasi jauh lebih kuat.

Legitimasi itu adalah realitas kebobrokan KPK dan penurunan kinerja KPK ditambah kepercayaan publik yang runtuh. Upaya membuka pintu revisi Undang-undang KPK ini harus didukung seluruh komponen masyarakat sipil, terutama komponen masyarakat sipil antikorupsi. DPR harus didesak agar memprioritaskan revisi Undang-undang KPK demi penguatan KPK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya