SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Pameran sampul novel sastra Jawa modern yang diselenggarakan Bentara Budaya Yogyakarta, 21-28 Mei 2024, bertema Nyambung Katresnan layak diingat dan ditelaah. Tema yang sangat erat dengan faktor-faktor romantisisme.

Saya memilih kata ”memulung”, bukan ”menyambung”, untuk judul esai ini karena ada benda-benda yang dianggap barang bekas, bahkan sampah.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memulung yaitu mengumpulkan barang bekas (limbah) yang terbuang (sampah) untuk dimanfaatkan sebagai bahan produksi.

Itulah yang terjadi sekarang. Banyak penggemar karya sastra Jawa yang berburu buku-buku saku lawas atau yang lazim disebut novel panglipur wuyung (PW), novel pelipur lara.

Banyak pengamat sastra yang mengatakan ”pembumihangusan” novel-novel saku jenis PW oleh aparat berwajib pada 1960-an sebagai noktah hitam dalam sejarah sastra Jawa modern.

Atas nama pembinaan moral bangsa, bertajuk Operasi Tertib Remaja, Komres 951 Surakarta menyita novel-novel PW (Prawoto, 1991).

Dari 300-an judul novel PW, sebagaimana dikemukakan Subalidinata, yang terbit pada 1950-1972, berejaan Soewandi, barangkali kurang dari separuh yang bisa dijumpai kini. Dalam pameran cover novel itu panitia pameran hanya bisa menyajikan 89 cover.

Ilustrasinya digarap Kwik Ing Hoo, Jono S. Wijono, Kentardjo, dan Wid N.S. yang kondang waktu itu. Kurator Bentara Budaya Yogyakarta, Hermanu, dalam kata pengantar pameran menuturkan betapa susah menemukan novel-novel itu setelah lewat 50 tahun.

Kalaupun ketemu, kondisi buku tidak utuh lagi. Kenapa begitu gampang karya sastra dihanguskan? Kenapa pula para pengarang sastra Jawa waktu itu, termasuk para penerbit, toko-toko buku, begitu mudah menyerah?

Buku Ikhtisar Pengembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan (2001) menjelaskan sejarah mencatat pada Maret 1966 di negeri ini terjadi pergantian orde atau kekuasaan, dari Orde Lama di bawah rezim Soekarno ke Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang sentralistik-militeristik.

Pergantian rezim itu serta-merta berdampak pada berbagai aspek kehidupan, tidak terkecuali sastra Jawa. Mana ada manusia Indonesia berani berhadapan dengan political forces, yang bentuknya bisa bermacam-macam: totalitarianisme, terorisme, kuasi-demokrasi.

Mana mungkin sastrawan Jawa didorong-dorong melawan, meniru Alexander Raditsjew, sebagaimana yang disebut Wiratmo Soekito dalam esai Manusia, Sastra, dan Politik.

Ketakberdayaan pengarang sastra Jawa, penerbit, dan toko buku bisa dijelaskan dengan mudah dari sudut sosiologi. Menjamurnya novel-novel saku PW tak ubahnya dengan merebaknya novel-novel sastra populer di Inggris.

Dalam buku Popular Literature: A History and Guide, Neuburg mengisahkan yang polanya mirip antara novel saku PW dengan novel populer di Inggris.

Di Inggris, buku bacaan seperti itu dijajakan di kedai-kedai buku sekitar Katedral St. Paul, di tikungan Pyes, di jembatan London, dan di tempat-tempat lain yang ramai di ibu kota, selain dijajakan oleh pedagang keliling yang menyebarluaskan ke segenap penjuru negeri (Damono, 2000).

Buku saku PW, di Jawa, dijajakan berbarengan dengan buku primbon, almanak, buku resep masakan, teka-teki silang, di terminal, stasiun, pasar, dan di tempat-tempat kerumunan lain.

Para pedagang buku itu sanggup menembus dan mengakrabi lapisan masyarakat kecil perkotaan hingga perdesaan. Pembaca novel-novel PW hanya memiliki satu tujuan: hiburan!

Karena itulah,  tak ada argumentasi yang muluk-muluk bagi pengarang novel-novel saku PW kacuali untuk menghibur. Hukum yang berlaku hanya hukum ekonomi, demand creates supply atau supply creates demand.

Kurang lebih seperti uraian David Meakin dalam Man and Work: Literature and Culture in Industrial Society. Produsen maupun konsumen memahami untuk apa barang dibikin.

Sahabat saya sekaligus guru saya menulis cerita pendek, Arswendo Atmowiloto (almarhum) pernah menasihati jangan menjual tulisan yang kamu bikin, tapi bikinlah tulisan yang kamu jual. Muaranya adalah pasar.

Pada 1960-an itu buku saku PW memang booming, laris seperti cilok sekarang. Tak mengherankan pengarang-pengarang kondang seperti Suparto Brata, Esmiet, Widi Widayat, Hardjono H.P. ikut ambyur dalam kancah panglipurwuyungan bersama Any Asmara yang memang habitatnya di situ.

Karya Any Asmara, antara lain, Kumandhanging Katresnan, Tangise Kenya Ayu, Macan Tutul, menjadi kembang lambe (bahan perbincangan) pada zaman itu. Maklumlah, bukan dulu bukan sekarang yang namanya iming-iming uang memang selalu merangsang.

Jangan dikira ketika nama-nama baru yang beredar waktu itu menunjukkan jumlah pengarang benar-benar bertambah. Sangat mungkin satu orang memakai sekian nama samaran.

Sebaliknya, ketika seorang pengarang tampak begitu produktif, satu bulan bisa menghasilkan lima karya, misalnya, jangan dikira itu asli karyanya sendiri.



Bisa jadi itu karya pengarang yang belum punya nama agar cepat menjadi duit, ya, langsung dijual kepada pengarang yang namanya laku di pasaran.

Rata-rata novel saku PW memang berkualitas rendah karena lahir dari latar sosiologis seperti itu. Pengarang novel PW semata-mata mengandalkan bakat alam, tanpa mau repot-repot belajar. Mentang-mentang bisa membuat lakon apa saja.

Jika dalam dunia teater ada yang namanya deus ex machine (tuhan sebagai mesin) itu berlaku pula dalam sastra. Artinya, setiap saat si pencerita bisa seenaknya memutuskan nasib pelaku cerita.

Mau mati karena kecelakaan atau mati mendadak karena sakit, mau mati dibunuh atau bunuh diri, sesuka hati saja. Yang penting, menurut pemikiran si pengarang, karyanya bakal dicari orang.

Ending cerita juga demikian. Mau sad ending biar menguras air mata pembacanya boleh. Mau happy ending kayak dongeng Cinderella juga tidak ada yang melarang. Tinggal kasih saja penutup: akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.

Sebagai pencinta sastra Jawa saya tetap tak setuju “pembumihangusan” novel saku PW dengan alasan apa pun. Bagaimanapun novel PW tetaplah karya sastra. Artinya tidak semuanya jelek.

Lihat saja buku saku Emprit Abuntut Bedhug dan Lintang Pandjer Sore karya Suparto Brata (cover ikut dipamerkan) hingga kini dianggap karya sastra yang bernilai sastra tinggi. Juga Asmarani yang waktu awal terbitnya digolongkan novel PW.

Para pengarang novel saku PW bukanlah orang-orang berbahaya. Mereka bukanlah kaum ironi, bukan satiris penganut Voltaire sebagaimana orang-orang yang dikelompokkan Gordon Alexander Crig, sejarawan liberal Skotlandia-Amerika.

Mereka tak bakal punya nyali mengkritik secara pedas, apalagi membabi buta, kepada pemerintah, seperti zaman sekarang. Mereka, dan terutama hasil karya mereka, pantas dihargai sebagai warisan sejarah.

Mereka, disadari atau tidak, suka atau tidak, merupakan bagian proses menuju tradition of the new, seperti yang dikatakan Harold Rosenberg, bagi sejarah panjang sastra Jawa (modern).

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Juni 2024. Penulis adalah pengarang, pengamat, dan pegiat sastra Jawa)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya