SOLOPOS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terhadap UUD 1945 pada Kamis (7/9/2023). (Istimewa/MK)

DPR menyetujui pembahasan empat rancangan undang-undang atau RUU sebagai inisiatif DPR. Empat RUU itu adalah RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan RUU tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Dalam RUU tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI muncul pasal yang ”berbahaya” karena mengafirmasi upaya menghidupkan lagi dwifungsi TNI, yaitu memberi peran kepada TNI dalam praksis politik dan urusan sipil selain fungsi utama sebagai lembaga pertahanan negara.

Promosi Meniti Jalan Terakhir menuju Paris

Usulan perubahan Pasal 17 ayat (2) UU TNI bersifat tidak mengatur batas tegas kementerian atau lembaga negara yang bisa diisi oleh prajurit aktif. Substansi pasal ini memungkinkan prajurit aktif ditempatkan di banyak jabatan sipil di kementerian atau lembaga negara.

Hal demikian seharusnya dihindari karena bertentangan dengan amanat gerakan reformasi 1998 dan bertentangan pula dengan semangat reformasi TNI yang bermaksud membangun TNI menjadi institusi militer profesional yang benar-benar berfungsi seutuhnya untuk pertahanan negara.

Alih-alih mendorong TNI menjadi alat pertahanan negara profesional, sejumlah usulan perubahan itu justru memundurkan kembali agenda reformasi TNI. Dalam negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer adalah alat pertahanan negara. Militer dididik, dilatih, dan dipersiapan untuk peran tersebut, bukan untuk menduduki jabatan-jabatan sipil.

Profesionalisme dibangun dengan menempatkan TNI dalam fungsi aslinya, bukan di fungsi dan jabatan sipil di luar kompetensi mereka. DPR dan pemerintah harus mengoreksi aspek ”kelenturan” pasal ini yang ”berbahaya” karena bisa menjadi afirmasi bagi aktualisasi lagi dwifungsi TNI.

Pasal tersebut menyatakan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR nasional, Badan Narkotika Nasional, Mahkamah Agung, dan kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.

Pasal itu jelas bersifat sangat terbuka, tergantung kepada presiden untuk menempatkan prajurit di jabatan-jabatan sipil. Pasal ini juga potensial merusak merit system yang berlaku di birokrasi sipil. Ombudsman mencatat setidaknya kini terdapat 27 prajurit TNI aktif menjabat di BUMN.

Apabila pasal ini disetujui DPR dan RUU disahkan menjadi UU berarti amanat gerakan reformasi 1998 yang mengakhiri dwifungsi TNI diabaikan.  Menempatkan prajurit TNI di jabatan sipil harus dengan batasan ketat, jelas, tidak multitafsir dan ketika menempati jabatan itu prajurit harus pensiun dari TNI. Ini lebih bijaksana dan berpihak pada pendewasaan demokrasi kita.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya