SOLOPOS.COM - Sejumlah aktivis lingkungan hidup Walhi berunjuk rasa di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Selasa (1/11/2022). Mereka menyampaikan protes terhadap pemerintah Jepang yang mempromosikan berbagai teknologi seperti co-firing hidrogen dan amonia, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbont (CCS), serta penggunaan Liquid Natural Gas (LNG) untuk investasi sektor energi mereka melalui strategi GX (green transformation) karena dianggap solusi palsu dalam mengatasi krisis iklim. (Antara/Galih Pradipta)

Bali kini menghadapi fenomena peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan atau urban heat island. Fenomena ini secara khusus melanda pusat-pusat pariwsata di pulau tersebut. Penyebab utama adalah emisi karbon yang tinggi dan suhu udara tinggi.

Emisi karbon yang tinggi dan kepadatan penduduk dan bangunan menyebabkan panas matahari tersimpan lebih lama dan terperangkap di permukaan bumi sehingga mengakibatkan suhu di pusat-pusat pariwisata menjadi lebih hangat dibandingkan wilayah perdesaan.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Penelitian yang dilakukan pada 2001 hingga 2019 mengungkapkan peningkatan suhu di kawasan pariwisata dan perkotaan mencapai 0,1 derajat Celcius per tahun, sedangkan di perdesaan hanya 0,06 derajat Celcius per tahun.

Tak ada tempat untuk kegiatan ekonomi dan aktivitas manusia saat bumi tidak layak lagi untuk ditinggali. Konsekuesi ini harus dipahami oleh seluruh warga dunia, termasuk di Soloraya tentu saja, yang dalam beberapa tahun terakhir diliputi rasa cemas dan khawatir oleh isu perubahan iklim yang kian hari kian nyata.

Fenomena urban heat island adalah salah satunya. El Nino telah dirasakan cukup lama dan nyata betul akibat buruknya. Laporan Risiko Global 2024 menjelaskan risiko-risiko akibat perubahan iklim, dalam 10 tahun ini, semakin mendominasi kehidupan global.

Risiko global dalam 10 tahun terakhir menunjukkan peringkat teratas adalah cuaca ekstrem, perubahan penting pada sistem bumi, hilangnya keanekaragaman hayati dan runtuhnya ekosistem, serta kekurangan sumber daya alam—terutama pangan.

Mitigasi dan antisipasi harus dilakukan semua warga, dimulai dari lingkungan terdekat, lingkungan terkecil, lingkungan keluarga. Pengetahuan lokal harus dipertimbangkan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Pengetahuan dan kearifan lokal sangat penting sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

Banyak petani di Indonesia telah menerapkan metode pertanian berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim, misalnya penggunaan tanaman lokal yang tahan terhadap kekeringan. Di beberapa daerah, petani menanam varietas padi lokal yang memiliki daya tahan lebih baik terhadap kondisi air yang minim.

Teknik tumpangsari, berbagai jenis tanaman ditanam bersamaan, bisa membantu menjaga kesuburan tanah dan meminimalkan risiko gagal panen. Di beberapa daerah, masyarakat mengembangkan sistem pengelolaan air untuk menghadapi musim kering yang panjang.

Sistem subak di Bali adalah sistem irigasi tradisional yang tidak hanya mengatur distribusi air untuk pertanian, tetapi juga untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan manajemen air yang baik, masyarakat dapat menjaga ketersediaan air meskipun dalam kondisi kekeringan sekali pun.

Pengetahuan lokal semacam ini menawarkan solusi yang holistik dan terintegrasi untuk pelestarian ekosistem karena menggabungkan aspek ekologis, sosial, dan budaya dalam satu kesatuan. Apabila ingin kehidupan kita selamat, kita harus kembali ke alam, tradisi, dan budaya lokal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya