SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Hasil penelitian terbaru yang mengamati tren pembuatan lirik lagu selama empat dekade terakhir menarik untuk dibaca lebih jauh. Hasil penelitian itu diterbitkan dalam jurnal Scientific Reports berjudul Song Lyrics Have Become Simpler and More Repetitive Over the Last Five Decades (2024).

Hasil penelitian itu menunjukkan lirik lagu berbahasa Inggris telah mengalami penyederhanaan, pengulangan, penekanan pada emosi marah, dan naratif yang cenderung terfokus pada diri sendiri (penyebutan kata “aku”).

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Meskipun penelitian ini mengambil studi kasus pada lagu-lagu berbahasa Inggris dari berbagai genre seperti rap, country, pop, R and B, dan rock dari tahun 1980 hingga 2020, hal itu memunculkan pertanyaan menarik tentang kemungkinan fenomena serupa di industri musik Indonesia, terutama genre pop.

Harus jujur diakui musik pop Indonesia merefleksikan [dan terpapar] tren global. Besar kemungkinan juga terpengaruh perubahan ini. Terdapat kesamaan mencolok antara temuan dalam penelitian tersebut dengan lirik lagu pop di Indonesia.

Banyak lagu pop Indonesia belakangan ini cenderung menggunakan bahasa lebih sederhana dengan frasa yang sering diulang-ulang untuk memberikan kesan lebih menonjol.

Tema-tema yang mengungkapkan emosi negatif, seperti marah, kesedihan, atau kecewa, semakin mendominasi lirik-lirik tersebut. Contoh ideal dapat ditemukan dalam lagu-lagu populer di Indonesia dari masa ke masa.

Lagu Virus milik Slank, misalnya, yang dirilis pada 2001, adalah contoh menarik untuk disimak. Dalam lirik dan melodi terdapat pola pengulangan, menciptakan efek kuat dan mudah diingat pendengar. Begitu juga dengan Naif lewat lagu berjudul Posesif (2000).

Pengulangan lirik “Bila ku mati, kau juga mati. Walau tak ada cinta, sehidup semati” terus dimunculkan dengan kontur melodi serupa dari awal hingga akhir. Berikutnya, lagu-lagu grup musik Peterpan, katakanlah pada karya Mungkin Nanti (2004) dan Di Balik Awan (2007).

Dua lagu itu menampilkan pola pengulangan yang sama. Lagu-lagu tersebut bukan hanya menggambarkan pengulangan lirik, tetapi juga menunjukkan narasi yang cenderung terfokus pada diri sendiri [keakuan], sejalan dengan temuan penelitian tentang lirik lagu modern.

Lagu Bertaut (2020) yang dinyanyikan Nadin Amizah bisa dijadikan referensi. Bagian pembuka lirik disenandungkan kata “bajingan”, sebuah ekspresi kemarahan dengan menabrak tabuisme dalam lirik musik Indonesia.

Kata serupa juga terdapat dalam lagu Emang Dasar (2008) dari Wali serta Aku (2008) dari Pas Band. Penggunaan kata-kata yang mencerminkan emosi kemarahan atau ketidakpuasan menjadi bagian mengekspresikan perasaan secara langsung dan kuat.

Ini upaya menciptakan kesan emosional intens kepada pendengar. Saat disenandungkan pendengar, apalagi secara bersama dalam sebuah konser, kata itu sering kali mendapat penekanan dengan lantunan suara yang lebih nyaring atau keras.

Fenomena ini juga dapat dilihat dari peningkatan popularitas lagu-lagu dengan lirik lebih sederhana dan repetitif di platform musik digital.

Merujuk penelitian di atas, data platform streaming musik seperti Spotify atau Apple Music menunjukkan lagu-lagu dengan lirik mudah diingat dan pengulangan kata cenderung mendapatkan jumlah streaming lebih tinggi daripada lagu-lagu dengan lirik lebih kompleks.

Ini menunjukkan tidak hanya dalam konten lirik, tetapi juga dalam preferensi pendengar, terdapat kecenderungan menuju kesederhanaan dan pengulangan yang lebih dominan dalam musik pop, termasuk dalam konteks industri musik Indonesia.

Fenomena Tiktok berperan penting memengaruhi tren lirik lagu, terutama dalam konteks penggunaan lagu-lagu sebagai latar belakang konten-konten yang diunggah di platform tersebut.

Tiktok menjadi salah satu platform terkemuka untuk berbagi video pendek. Pengguna sering kali menggunakan lagu sebagai pengiring konten kreatif mereka. Penggalan lagu yang autentik, mengena, dan mudah diingat sering menjadi pilihan utama para pengguna Tiktok.

Lagu-lagu dengan lirik sederhana dan repetitif cenderung menjadi populer di Tiktok karena lebih mudah digunakan dan diingat para pembuat konten. Fenomena Tiktok dapat memperkuat kecenderungan menuju penyederhanaan dan pengulangan dalam lirik lagu dewasa ini.

Tak Mau Ribet

Generasi masa kini sering mencari kesederhanaan dalam segala hal, termasuk dalam lirik lagu. Mereka tidak mau ribet, tidak ingin memusingkan pikiran dengan makna lirik terlalu dalam atau kompleks.

Bagi mereka, musik adalah sarana “melarikan diri” dari kepenatan aktivitas sehari-hari, tekanan hidup, dan beban tuntutan pekerjaan. Lirik sederhana dan mudah diingat menjadi pilihan utama karena memberikan kesan langsung dan mudah dicerna.

Fenomena ini juga dapat dilihat sebagai bagian upaya generasi masa kini mencari detoksifikasi dari kehidupan yang serbacepat dan mudah memantik stres.

Dengan melupakan kompleksitas pikiran lewat lirik lagu sederhana dan pesan yang jelas, mereka merasakan kelegaan dan kesenangan sesaat tanpa memikirkan makna tersembunyi.

Barangkali kesederhanaan dalam lirik juga dapat dipahami sebagai respons terhadap budaya “konsumsi instan” yang semakin merajalela. Semakin ke sini, generasi kini terbiasa dengan informasi cepat, singkat, dan mudah dicerna.

Mereka cenderung tertarik pada lirik-lirik yang to the point dan tidak memerlukan banyak tafsir untuk memahami. Kesederhanaan dalam lirik tidak selalu bertaut pada kurangnya nilai artistik atau kedalaman makna.



Beberapa musikus memiliki keahlian khusus menyampaikan pesan sederhana, namun menggugah secara emosional atau musikal. Silakan dengarkan lagu Dewa 19, Iwan Fals, dan Tulus.

Ini menciptakan keseimbangan antara keinginan sebuah generasi menolak kompleksitas dengan kebutuhan makna dan kepuasan dalam musik. Kesederhanaan lirik bisa menjadi strategi pemasaran bagi industri musik untuk menarik konsumen lebih luas.

Dengan lirik mudah diingat dan dipahami, lagu-lagu tersebut memiliki potensi mencapai audiens lebih luas dan meningkatkan popularitas serta penjualan, tanpa mengorbankan kualitas musik secara keseluruhan.

Perkembangan teknologi dan media sosial berperan besar memengaruhi preferensi terhadap lirik lagu. Generasi masa kini cenderung terhubung secara konstan dengan berbagai platform media sosial seperti Instagram, Facebook, X (Twitter), dan Youtube.

Di sinilah mereka terpapar berbagai tren dan konten yang menggambarkan gaya hidup serbaringkas. Dalam upaya tetap relevan dan terhubung dengan audiens, para musikus dan produser musik mengadopsi bahasa yang sesuai kebutuhan dan preferensi generasi ini, termasuk dalam penulisan lirik lagu.

Dalam konteks yang demikian, lirik-lirik mudah diingat dan sederhana menjadi sangat berharga karena memudahkan para pengguna media sosial mengikuti tren dan membuat konten relevan dengan lagu tersebut. Sering kali lirik sederhana itu ternyata dibuat dengan proses yang sangat tidak sederhana.

(Versi lebih singkat esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 Juni 2024. Penulis adalah etnomusikolog dan dosen di ISI Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya