SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Setahun menjelang Pemilu 2024, warga sebuah kampung yang tak jauh dari perbatasan Kota Solo mulai bergairah.

Alih-alih membicarakan tensi politik antara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo dengan kubu Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mereka memperbincangkan apa yang bisa didapatkan dari calon-calon anggota legislatif (caleg) yang bermunculan.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Topik pembicaraan yang dibawa ke pertemuan tingkat RT itu adalah rencana pendanaan perbaikan jalan kampung yang selama ini terbentur minimnya anggaran. Ditunjuklah seseorang yang bertugas menyusun proposal.

Proposal itu akan diajukan kepada seorang caleg yang rumahnya tak jauh dari kampung itu. Ini mirip dengan kisah Abdullah (bukan nama sebenarnya) yang disebut dalam Democracy For Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot.

Dalam buku tersebut, dua profesor ilmu politik itu menunjukkan budaya klientelisme begitu berakar dalam praktik politik di Indonesia. Abdullah adalah seorang ketua RW di Tangerang, Banten.

Menjelang Pemilu 2014, dia bernegosiasi dengan sejumlah caleg untuk mendapatkan bantuan pengasapan (fogging) dan perbaikan balai pertemuan warga. Sebagai imbalann, dia menawarkan dukungan dari pemuda setempat untuk sang caleg.

Awalnya dia bernegosiasi dengan caleg Partai Golkar, namun gagal mencapai kata sepakat. Dia berpindah ke caleg lain dari PDIP yang akhirnya bersedia memberi Rp50 juta untuk perbaikan jalan kampung sepanjang 1,3 kilometer.

Dua kasus tersebut menggambarkan banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki fanatisme dalam politik. Tidak ada pertimbangan tentang ide, gagasan, apalagi ideologi yang begitu abstrak.

Yang dipertimbangkan hanya satu, yakni keuntungan finansial atau material yang bisa didapatkan dari para caleg atau calon pemimpin. Pembicaraan pada suatu siang belum lama ini dengan seorang politikus di Soloraya menunjukkan praktik serupa dalam skala yang lebih besar.

Dia bercerita tentang seorang calon bupati yang khawatir gagal mendapatkan rekomendasi dari partai. Calon tersebut kabarnya hendak berkontak dengan ”istana” untuk mendapatkan dukungan dalam pilkada pada Desember 2024.

Dia paham jika partainya—yang sedang tak sejalan dengan ”istana”—tidak memberikan dukungan, dia harus mencari dukungan dari kubu yang berseberangan. Dalam politik Indonesia, tentu tak ada yang gratis.

Tak salah publik memberikan sentimen negatif terhadap penunjukan sejumlah politikus atau tokoh yang pernah berjasa dalam pemenangan pemilu untuk menduduki posisi-posisi strategis, di  kementerian, komisaris badan usaha milik negara (BUMN), atau dalam bentuk lain.

Publik tak bisa disalahkan menilai jabatan-jabatan itu diberikan dengan motif transaksional. Tentu semua selalu disangkal oleh yang bersangkutan, baik yang menunjuk maupun yang ditunjuk.

Begitu pula saat organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mendapatkan konsesi alias izin usaha pertambangan (IUP). Menteri Investasi//Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia bisa menyangkal IUP untuk ormas keagamaan itu hanya bermotif balas budi politik.

Publik punya pandangan lain. Sejauh ini hanya Nahdlatul Ulama yang dengan senang hati menerima konsesi itu. Sejumlah ormas lain dengan tegas menolak—sesuatu yang harus dibaca sebagai konsistensi organisasi yang religius.

Secara etis, konsesi pertambangan layak ditolak karena di Indonesia bisnis itu kerap menjadi penindas hak-hak asasi manusia, khususnya warga lokal.

Transaksional

Itu pula yang disebut Aspinall dan Berenschot sebagai klientelisme yang terjadi dalam setiap pemilu. Dalam pemilu, para politikus berupaya meraup dukungan dengan menebar uang, bantuan fisik, hingga komitmen pemberian jabatan publik.

Politicians win power, often, by distributing small-scale projects, cash, or other goods to voters or community groups; they gain the funds they need to campaign by trading contracts, licenses, and other favors with businesspeople; and they engage in constant battles with each other and with bureaucrats in order to wrest control over state resources and turn them to their personal political advantage,” tulis Aspinall dan Berenschot.

Artinya para para politikus meraih kekuasaan sering kali dengan menyebarkan proyek-proyek berskala kecil, uang tunai, atau barang lain kepada pemilih atau kelompok/komunitas. Mereka menggalang dana kampanye dengan menjual kontrak, izin, dan fasilitas lain kepada pengusaha.

Mereka selalu terlibat pertarungan dengan sesama serta birokrat untuk merebut kendali sumber-sumber negara untuk kepentingan politik. Para politikus di lingkaran kekuasaan sepertinya benar-benar belajar dari cara pemerintah Orde Baru bekerja.

Mereka sama-sama transaksional dalam membagi-bagi kekuasaan, sama-sama ingin mengakumulasi kekuasaan, dan yang paling terlihat sama-sama menihilkan fungsi partai politik. Ketiganya adalah praktik yang saling berkelindan.

Membagi-bagi kekuasaan—yang selalu subur dan tak pernah hilang dalam praktik politik Indonesia—semakin dianggap normal. Praktik ini hanya bisa mulus ketika kekuasaan terakumulasi dalam lingkaran elite sehingga mudah dibagi-bagi.

Tentu tak semua bisa menikmati kue kekuasaan. Menilik konsep oligarki dari Indonesianis di Universitas Northwestern, Amerika Serikat, Jeffrey Winters, yang paling mungkin menikmati adalah para pemilik modal, politikus yang berkuasa, serta politikus yang merangkap pemodal.



Mereka mampu mengendalikan peta politik hingga menentukan siapa yang akan maju dalam kontestasi pemilu, termasuk pilkada. Mirip era Orde Baru di bawah kuasa Soeharto. Politik Indonesia kala itu begitu dipengaruhi kekuasaan yang tersentralisasi di bawah Soeharto dan segelintir elite.

Praktik kekuasaan menjadi serbatertutup dan tak akuntabel. Partai politik hampir tak punya peran, kecuali para elite mereka di lingkaran kekuasaan. Selama Orde Baru, partai politik dibonsai, dari puluhan menjadi hanya tiga.

Kini jumlah partai politik memang banyak, tetapi hampir tak ada bedanya. Meminjam kalimat Faisal Basri: partai politik Indonesia tidak memiliki ideologi. Partai hanya punya asas yang nyaris tak bisa dibedakan satu dengan yang lain.

Dalam praktik politik, mereka menjalankan pola serupa. Tak ada agenda ideologis atau nilai yang diperjuangkan partai. Yang terlihat hanya satu, yakni berebut kue kekuasaan. Jumlah partai memang banyak, tetapi tak mampu menentukan arah kekuasaan.

Alih-alih diperkuat dalam demokrasi, fungsi partai dalam pemilu Indonesia kian tereduksi. Para kandidat dengan popularitas tinggi lebih memilih mengandalkan kelompok-kelompok sukarelawan yang dipelihara sepanjang periode kekuasaan.

Mereka ibarat partai tanpa bentuk, berpusat pada satu orang, dan tentu tanpa akuntabilitas. Ketika calon yang mereka dukung berkuasa, kelompok-kelompok sukarelawan memiliki daya tawar politik hingga ke daerah.

Sedangkan partai politik—yang masih memiliki hak mengusung kandidat—susah payah menawarkan kader mereka untuk berlaga di beberapa daerah, mencari celah di daerah mana yang lebih memberi peluang.

Kepentingan rakyat hanya klise, nilai rupiah ambles sudah biasa, apalagi demokrasi yang bagi mayoritas orang Indonesia terlalu abstrak untuk dipikirkan. Siapa yang untung? Tentu elite yang bernegosiasi dengan sesama.

(Versi lebih pendek esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya