SOLOPOS.COM - Ivan Indrakesuma (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Apa yang langsung terlintas dalam pikiran Anda bila ada orang menyebut Aedes aegypti? Secara spontan dan cepat jawaban yang paling banyak muncul yaitu demam berdarah. Begitu mudah mengingat dan seperti sudah terbenam dalam pikiran bahwa Aedes aegypti ya demam berdarah.

Sayangnya, tidak semua orang bertindak cepat ketika mengidap gejala demam berdarah. Dalam kondisi lain, tak juga cepat bertindak saat ada anggota keluarga yang mengalami gejala tersebut. Mengutip laman Kementerian Kesehatan, demam berdarah atau dengue adalah penyakit yang disebabkan virus dan ditularkan oleh nyamuk.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Penyakiy ini menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah dalam beberapa tahun terakhir. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk betina, terutama dari spesies Aedes aegypti, dan pada tingkat lebih rendah Ae. Albopictus.

Nyamuk ini juga merupakan vektor chikungunya, demam kuning, dan virus Zika. Demam berdarah tersebar luas di seluruh daerah tropis dengan variasi lokal dalam risiko yang dipengaruhi parameter iklim serta faktor sosial dan lingkungan.

Fakta lainnya, tercatat sampai pekan ke-17 tahun 2024, terdapat hampir 88.593 kasus demam berdarah dengue atau DBD di 456 kabupaten/kota di 34 provinsi. Dari jumlah kasus tersebut, jumlah kematian mencapai 621 orang.

DBD memang dapat disembuhkan apabila segera ditangani dengan tepat. Masyarakat tetap harus waspada karena DBD mempunyai kemungkinan komplikasi, yaitu terjadinya syok atau istilah medisnya dengue shock syndrome atau DSS yang bisa berujung kematian.

Ada pepatah “sedia payung sebelum hujan”. Dalam konteks ini, tentu lebih baik mencegah daripada mengobati DBD. Membangun kesadaran dalam diri sendiri menjadi salah satu faktor penting agar kita tidak terkena penyakit ini.

Sedangkan bila terjangkit DBD, harus secepatnya ditangani. Kesadaran untuk secepatnya memeriksakan diri inilah yang belum dimiliki semua orang. Selain itu, sebagian orang juga punya kebiasaan docter shopping alias suka berpindah-pindah dokter.

Saat memeriksakan diri ke dokter pertama, mengaku baru satu atau dua hari merasa demam, panas, atau suhu tubuh tinggi. Demam tak kunjung turun, pindah ke dokter lainnya lagi. Kadang kala ada pengidap DBD yang tidak berterus terang, menyebut baru mengalami demam atau panas, padahal sudah beberapa hari.

Hal ini membuat penanganan menjadi terlambat. Kasus DBD fatal atau berujung kematian biasanya terjadi karena pengidap tidak berterus terang dan datang ke rumah sakit dalam kondisi DSS. Kondisi DSS bisa diketahui dari beberapa tanda, yaitu muntah terus-menerus, mengalami nyeri perut hebat, kaki dan tangan (akral) pucat, dingin, dan lembap, nadi melemah, lesu dan gelisah, perdarahan, dan jumlah urine menurun.

Untuk menghindari DBD lebih dini, masyarakat bisa mengenali penyakit ini melalui beberapa gejala, antara lain, demam tinggi yang mendadak, nyeri pada sendi, otot, kemudian  sakit kepala parah di sekitar dahi, mual dan muntah, serta merasa kelelahan.

Pada gejala demam tinggi mendadak, jamak suhu tubuh pengidap DBD bisa mencapai 40 derajat Celcius, tidak disertai dengan gejala bersin atau batuk.  Setelah mengalami berbagai gejala tersebut, tubuh akan merasakan kelelahan akibat penurunan nafsu makan.

Mengetahui dan mengenali lebih awal gejala-gejala DBD setidaknya telah membangun kesadaran dalam diri sendiri. Upaya selanjutnya yaitu membiasakan diri sendiri untuk menjaga kesehatan lingkungan dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Dua hal ini masih sulit diterapkan masyarakat. Membuang sampah di sembarang tempat masih saja dilakukan sebagian orang. DBD tidak bisa dianggap remeh. Apabila kepedulian masyarakat atau individu warga rendah, bisa jadi kasus akan terus melonjak dan angka kematian terus bertambah.

Penanganan DBD harus dilakukan bersama-sama. Kementerian Kesehatan mengabarkan sedang berkolaborasi dengan pihak swasta untuk mewujudkan target nol kematian akibat DBD pada 2030. Artinya, diharapkan tidak ada lagi kasus kematian akibat DBD pada 2030 dan seterusnya.

Lebih baik apabila target nol itu bisa dicapai sebelum 2030. Data Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa atau The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) menyebut terdapat 4.110.465 kasus demam berdarah di dunia pada 2022 (Januari–Desember).

Indonesia menempati posisi keempat kasus terbanyak dengan 125.888 kasus. Lembaga ini juga mencatat tingkat kematian akibat DBD di Indonesia terbilang tinggi. Pada tahun tersebut, dari total kematian dunia yang mencapai 4.099, sebanyak 1.183 kematian atau 28,9% terjadi di Indonesia.

Pencegahan bisa dilakukan. Jangan ada lagi kasus kematian akibat DBD hanya karena telat penanganan dan minimnya kesadaran masyarakat. Jangan bosan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat serta segera ke dokter bila merasakan gejala awal DBD agar segera sembuh.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Juni 2024. Penulis adalah Manajer Senior Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya