SOLOPOS.COM - Edi Sugianto (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan kontroversial tentang pemberian izin penambangan (batu bara) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Kebijakan ini berupa Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024.

Salah satu alasan pemerintah adalah agar ormas keagamaan lebih mandiri menghidupkan organisasi (dengan keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tambang). Bagaimana seharusnya ormas keagamaan bersikap terhadap kebijakan dan tawaran izin penambangan? Bagaimana sebenarnya ajaran agama merespons penambangan?

Promosi Borneo FC dan Kejamnya Drama Sepak Bola

Menurut saya, kembalikan saja pada ideologi dan anggaran dasar serta anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi. Hanya dengan pedoman dan landasan inilah pengurus dapat bersikap bijaksana terhadap pelaksanaan aneka aktivitas dan kegiatan, termasuk pertambangan.

Ketika pengurus ormas keagamaan bersikap politis ”aji mumpung”, selagi diberi kesempatan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya, menurut saya, sikap seperti itu telah mencoreng muruahh organisasi, dan pemerintah mesti mengkaji ulang kebijakan tersebut.

Ormas Islam harus konsisten pada tujuan, yaitu membentuk masyarakat Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai rahmatan lil’alamin, termasuk pelestarian lingkungan hidup. Ormas Islam yang benar tidak akan bersikap kontradiktif dan kompromis terhadap eksploitasi alam, apalagi hanya dengan alasan untuk menghidupi operasional organisasi.

Jangan sampai organisasi Islam sebagai gerakan amar makruf dan nahi mungkar berubah menjadi gerakan perusak alam karena ikut-ikutan segelintir elite yang merusak alam Indonesia secara sistematis.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam (SDA) untuk menghidupi negara dan rakyat. Pemerintah sebaiknya memanfaatkan sektor-sektor lain, seperti pertanian; rempah-rempah khas Indonesia belum dikelola dengan maksimal menjadi komoditas ekspor dunia.

Paradigma fikih al-bi’ah dapat menjadi solusi alternatif untuk menyikapi realitas krisis lingkungan hidup. Kaidah fikih menjelaskan mencegah sesuatu yang menyebabkan kerusakan lingkungan harus didahulukan atas sesuatu yang mendatangkan manfaat.

Manusia modern mesti merekonstruksi pikiran dan perlakuan terhadap alam. Seyyed Hossein Nasr menggambarkan selama ini manusia memperlakukan alam layaknya pelacur, dieksploitasi sesuka hati demi kepuasan hawa nafsu.

Terlalu banyak bagian alam yang kehilangan kesucian, kotor, hancur, dan mengancam keselamatan kehidupan. Manusia sebagai khalifah, wakil Tuhan di muka bumi, ditugaskan melestarikan alam (al-ishlah), memanfaatkan dengan bijak (al-intifa’), dan menjadikan alam sebagai pelajaran (al-i’tibar).

Selama ini manusia selalu memosisikan diri sebagai subjek dan alam adalah objek sehingga alam terus menjadi korban perusakan. Mestinya manusia dan alam sejajar, saling menguntungkan, sebagaimana teori simbiosis mutualisme.

Anehnya, sering kali agama sebagai pedoman hidup manusia dipahami secara terpisah dari lingkungan hidup. Nilai-nilai agama tidak menjadi solusi atau sekadar menjelma sebagai ritual. Betapa banyak orang yang rajin salat, misalnya, tetapi masih membuang sampah sembarangan. Salat mengajarkan kebersihan dan kesucian jiwa.

Dalam perspektif Islam, Allah telah mendesain peraturan (al-syariah) yang bertujuan menghadirkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Menurut Al-Ghazali, ada lima unsur pokok (ad-dharuriyat al-khamsah) dalam konsep tujuan syariat (maqasyid al-syariah): menjaga agama (hifdz al-din), jiwa (hifdz al-nafs), akal (hifdz al- ‘aql), nasab (hifdz an-nasl), dan harta (hifdz al-mal) (Muhammad Ali, 2007).

Melestarikan lingkungan dan alam (hifdz al-bi’ah/al-a’lam) dapat menjadi indikator lima unsur tersebut. Manusia yang berpegang teguh pada ajaran agama akan selalu menjaga alam. Manusia tanpa alam tidak akan bertahan hidup dengan baik.

Manusia berakal sehat selalu bersahabat dengan alam. Manusia yang baik mewarisi dan mewariskan alam yang sehat bagi kehidupan anak cucu pada masa depan. Akhirnya, alam adalah harta yang tak ternilai harganya.

Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3), menjelaskan sumber daya alam seperti bumi, air, dan segala yang terkandung di dalamnya perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebaikan manusia.

Manusia bersikap serakah. Mestinya menghadirkan kebaikan justru membuat kerusakan alam. Krisis lingkungan hidup merupakan persoalan global yang tidak saja direspons oleh ilmuwan, namun juga agamawan. Mereka berupaya menemukan solusi teologis, strategis, dan etika lingkungan.

Islam melalui Al-Qur’an (QS 7: 56) mengajarkan manusia untuk menjaga alam dengan baik. Organisme (biotik), seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, akan bertahan hidup apabila lingkungan (abiotik), seperti tanah, udara, dan air, dipelihara sebagaimana mestinya.

Semua yang ada di alam ini memiliki hubungan erat dan berada dalam relasi ketergantungan satu sama lain (ekosistem). Alam adalah ”rumah atau keluarga” (oikos) yang mesti dijaga bersama. Menjaga alam bernilai ibadah, bukti ketaatan manusia kepada Tuhan.

Sebaliknya, merusak alam di daratan dan lautan merupakan kemaksiatan yang nyata. Manusia akan merasakan akibat dari keserakahan (QS 40 : 42). Semua yang ada di alam adalah ujian hidup bagi manusia. Banyak yang boleh dinikmati, ada juga yang harus dihindari.

Perintah dan larangan adalah takdir yang digariskan sejak Nabi Adam dan Hawa menempati surga. Keduanya diusir dari surga karena menikmati buah pohon terlarang (khuldi), padahal begitu banyak kenikmatan yang dihidangkan Allah di surga. Allah mengajarkan manusia agar mengendalikan sifat tamak dalam diri (QS 102 : 1-2).

Manusia modern dalam pengelolaan sumber daya alam sering kali hanya fokus pada faktor ekonomi, tanpa memikirkan etika lingkungan hidup. Sikap nir-etika  inilah yang menyebabkan krisis lingkungan hidup secara global.

Secara normatif, Al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad SAW, karya-karya agamawan dan ilmuwan mengingatkan pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Secara praksis mutlak memerlukan kesadaran kolektif masyarakat, organisasi, dan penguasa yang membuat kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kebijakan yang baik seharusnya menghadirkan kebijaksanaan terhadap kelestarian alam.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Juni 2024. Penulis adalah dosen di Institut Agama Islam Al-Ghuraba dan Universita Muhammadiyah Jakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya