SOLOPOS.COM - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Ingar bingar Pemilu 2024 tampaknya hanya berlangsung sekejap, apalagi setelah putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada kecurangan bersifat terstruktur, masif, dan sistematis.

Atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi itu, Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, bahwa Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2024-2029.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

Sebagai pemilih yang lima kali menggunakan hak suara, saya heran dengan situasi pascapemilu. Sepengatahuan saya, sehabis pemilu itu syukuran di sana-sini, para pendukung pemenang segera memasang baliho atau poster gambar presiden-wakil presiden terpilih, yang menandakan ada harapan baru di tangan pemimpin baru.

Hari-hari pascacoblosan, menurut saya, adem-adem saja, sepi nyenyet, bahkan cenderung seperti suasana saat takziah. Pendek kata, orang-orang tidak peduli dengan hasil pemilu. Orang-orang sibuk dengan kebutuhan perut mereka masing-masing.

Pada Maret 2024, pada waktu menjalankan ibadah puasa, menurut Badan Pusat Statistik atau BPS, harga beras mencapai kenaikan tertinggi sebesar 20,07% dibandingkan tahun 2023 dan berada di kisaran harga Rp16.000 per kilogram hingga Rp17.000 per kilogram.

Selain itu, meski jarang diperhatikan orang, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus melemah sampai Rp16.534. Biasanya setelah pemilu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat cenderung menguat. Pemilu 2024 ini sepertinya menandakan masa kecemasan baru.

Jargon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka adalah keberlanjutan. Apakah bentuk keberlanjutannya? Boleh saja mereka berjanji akan melanjutkan program pembangunan Presiden Joko Widodo, tetapi bisa juga praktiknya lain.

Meskipun lain, saya cenderung sepakat dengan hal ini, yaitu melanjutkan konsolidasi kekuasaan. Keunggulan Presiden Joko Widodo selama menjabat adalah kemampuan mengonsolidasi kekuasaan agar semua elemen kekuatan politik tunduk kepada dirinya.

Mengapa saya lebih setuju keberlanjutan konsolidasi kekuasaan daripada program-program pembangunan ala Presiden Joko Widodo? Pertama, saya mendasarkan pada laporan investigasi majalah mingguan Tempo tentang pembagian izin usaha pertambangan atau IUP.

Laporan Tempo menyebut izin akan dibagikan kepada badan usaha milik negara atau BUMN, badan usaha milik daerah atau BUMD, swasta, dan yang mengejutkan adalah organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan akan mendapatkan.

Salah satu yang sudah mendapatkan adalah Nahdlatul Ulama atau NU. Hal ini menandakan politik dagang sapi sudah dimulai jauh-jauh hari, bahkan sebelum pencoblosan dilakukan.

Bisa diringkas: masyarakat bawah atau miskin mendapatkan pembagian bantuan sosial, sedangkan bagi organisasi pendukung atau penyumbang suara terbanyak mendapat pembagian izin usaha pertambangan.

Kedua, belum sampai sebulan dinyatakan menang pemilihan presiden oleh lembaga hitung cepat, Prabowo Subianto bersaksi bahwa demokrasi sangat-sangat melelahkan, demokrasi sangat berantakan, demokrasi sangat costly (makan biaya). Kita sampai sekarang masih tidak puas dengan demokrasi kita.

Hal ini diungkapkan Prabowo saat menghadiri Mandiri Investment Forum pada 5 Maret 2024. Bicara soal demokrasi yang messy dan costly, ternyata Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto satu suara.

Untuk mengatasi demokrasi yang pasti akan ribut dan mengganggu kelancaran kerja pemerintah, Prabowo mulai meniru Jokowi. Keduanya tampak benar alergi terhadap demokrasi, keduanya hanya ingin membentuk pemerintahan yang besar. Bukan pemerintahan yang demokratis.

Koalisi

Kekuatan awal Prabowo berdasarkan hasil pemilu legislatif 2024 adalah Partai Golongan Karya atau Golkar (102 kursi), Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra (86 kursi), Partai Amanat Nasional atau PAN (48 kursi), dan Partai Demokrat (44 kursi). Totalnya adalah 280 kursi atau setara dengan 48%.

Tentu jumlah dukungan ini masih kalah jauh dengan kekuatan Presiden Jokowi, terutama periode 2019-2014, yang sekitar 80%. Prabowo mendekati Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB (69 kursi) dan Partai Nasional Demokrat atau Nasdem (68 kursi) agar masuk dalam tenda Koalisi Indonesia Maju.

Apabila kedua partai politik masuk koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran, jumlah kekuatan koalisi di parlemen adalah 471 kursi atau setara 72%. Sudah mayoritas dan kekuatan di luar pemerintahan tinggal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP dan Partai Keadilan Sejahtera atau PKS. Apakah Prabowo sudah puas dengan kekuatan pendukung tersebut?

Ketiga, menjawab pertanyaan di atas, Prabowo sepertinya belum puas. Prabowo kemudian mencetuskan ide presidential club. Prabowo ingin presidential club menjadi alat untuk bertukar pikiran antara mantan presiden dan presiden yang masih menjabat.

Saya malah berpikir lain. Ada satu hal yang sulit terwujud dalam presidential club ini, yaitu mempertemukan dan menyatukan Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri.

Hal ini akan dimanfaatkan oleh Prabowo. Ketika lembaga ini terbentuk ia akan menggandeng Megawati untuk meredam manuver-manuver politik Jokowi. Dari sini, nanti bisa terlihat apakah PDIP akan masuk kabinet atau tidak.

Selain itu, ide presidential club juga merupakan niat lahir batin para elite politik Indonesia untuk tidak terlalu membagi banyak kekuasaan. Lebih baik kekuasaan dibagi kepada “kita-kita saja”.

Masukan atau input pada pemerintahan Prabowo nantinya akan dilakukan oleh para anggota presidential club ini, bukan oleh organisasi oposisi yang terlembaga dengan baik.

Boleh saja Prabowo mencomot ide ini dari Amerika Serikat, namun apakah politik Amerika Serikat juga seperti di Indonesia yang kekuasaan dibagi di antara teman sendiri atau oposisi diberangus?



Meskipun hanya dua partai politik, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat, kedua partai politik ini melakukan mekanisme check and balance dengan bagus. Hampir tidak ada cerita ketika Partai Republik memimpin kemudian meminta saran kepada Partai Demokrat. Begitu sebaliknya.

Yang ada adalah alternatif kebijakan, misalnya, dengan ide kebijakan kami ini, anggaran bisa dihemat dan lebih berkelanjutan. Pada Pemilu 2024 ini hampir tidak ada polarisasi yang menjadi salah satu penyebab pesta itu berakhir dengan cepat.

Penguasa menguarkan ide-ide positif, yang menang yang merangkul, jangan ada perbedaan ide, ayo kita bersatu membangun bangsa, yang semua itu sebenarnya hanya kesan positif atau toxic positivity menurut generasi Z.

Di balik toxic positivity ini mekanisme check and balance tidak dilakukan dan wacana alternatif atau oposisi dijinakkan. Di negeri miskin wacana ini, tampaknya sulit bagi rakyat menyadari bahwa ujaran-ujaran positif itu ternyata beracun.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Mei 2024. Penulis adalah editor buku dan tinggal di Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya