SOLOPOS.COM - Ardian Nur Rizki (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi memasukkan sastra ke dalam Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran 2024/2025 untuk jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) serta yang sederajat.

Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Anindito Aditomo, mengatakan sastra masuk dalam pembelajaran di sekolah dengan bentuk kokurikuler.

Promosi Moncernya Industri Gaming, Indonesia Juara Asia dan Libas Kejuaraan Dunia

Kebijakan ini terasa bak angin segar bagi jagat pendidikan nasional, khususnya bagi alam literasi. Menilik hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA)  dalam satu dekade terakhir menunjukkan literasi dan numerasi anak Indonesia masih di bawah kompetensi minimal.

Hal PISA dapat menjadi indikator bahwa paras pendidikan Indonesia belum menunjukkan perubahan signifikan akibat krisis pembelajaran yang bertahun-tahun merundung Indonesia.

Krisis ini, antara lain, disebabkan ketimpangan sosial-ekonomi dan disparitas teknologi pembelajaran. Membumikan sastra melalui distribusi bahan bacaan bermutu secara gratis ke antero negeri diyakini dapat meregas segala disparitas kualitas pendidikan.

Sastra yang sering dipandang kontradiktif dengan modernitas nyatanya malah acapkali dijadikan ”senjata” bagi negara-negara adidaya untuk bangkit dari keterpurukan.

Program Sastra Masuk Kurikulum merupakan langkah progresif di tengah berkecamuknya badai pragmatisme pendidikan yang memuja keterampilan praktis semata.

Cerita-cerita dalam karya sastra maupun tokoh-tokoh fiksi memiliki daya magis dalam mengubah standar moral masyarakat, memengaruhi gaya hidup, mengobarkan revolusi, bahkan menstimulasi perubahan dunia.

Kisah Rosie the Riveter yang melukiskan seorang pekerja pabrik kerah biru, misalnya, dapat menjadi penggelora women’s liberation movement, gerakan pembebasan kaum perempuan.

Kisah Barbie, boneka bersolek nan molek yang menjadi model idaman jutaan gadis cilik di antero dunia, memberikan standardisasi gaya dan kecantikan. Kisah Siegfried, ksatria pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada ironi dua Perang Dunia (Lazar, 2006).

Manga Kapten Tsubasa dapat merombak cara pandang masyarakat Jepang yang tadinya awam terhadap sepak bola menjadi begitu mafhum, bahkan lihai menyepak “si kulit bundar”.

Dua dekade semenjak manga Kapten Tsubasa diserialkan dalam anime (1983), publik Jepang menjadi kian menggandrungi sepak bola. Alhasil, tim nasional sepak bola putra Jepang berhasil menjadi raja di Asia pada 2000, 2004, dan 2011.

Tim nasional sepak bola putri Jepang juga turut mengguncang dunia dengan menjadi juara Piala Dunia Perempuan 2011. Menyadari urgensi sastra dan literasi sebagai penopang pembangunan manusia, diksi-diksi puitis William Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak sekolah dasar dalam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat di Inggris.

Di Swedia, aneka spanduk berisi kutipan karya-karya sastra marak dibentangkan untuk menyambut hari raya. Di Prancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni pantheon dan jejak singgah mereka semasa hidup diberi tanda-tanda khusus sebagai wujud penghargaan dan “pemujaan”.

Kecakapan menulis merupakan bekal dasar bagi pengasahan kemampuan logika, sistematika, meneliti, dan mencipta. Tidak mengherankan tatkala Amerika Serikat  mengalami dekadensi daya saing, mereka langsung merespons dengan merombak kurikulum sekolah dengan mewajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Godzich, 1994).

Pemerintah Amerika Serikat meyakini bahwa tumbuhnya hasrat menulis akan menstimulasi keingintahuan anak dan merangsang semangat anak dalam meneliti lewat membaca buku maupun ”membaca” fenomena lingkungan sekitar.

Senada dengan paradigma Amerika Serikat, Lorella Terzi dalam Amartya Sen’s Capability Approach and Social Justice in Education (2007) mengajukan sejumlah kapabilitas dasar sebagai pemicu kreativitas dan inovasi di berbagai bidang kehidupan.

Kapabilitas dasar itu adalah literasi; numerasi; sosialisasi dan partisipasi; karakter pemelajar; aktivitas fisik; sains dan teknologi, dan penalaran praktis. Dari semua elemen tersebut, kapasitas literasi merupakan pilar utama.

Budaya membaca yang kuat merupakan penopang terbaik sendi-sendi demokrasi yang bertumpu pada budaya beropini dan kebebasan berargumentasi. Negeri yang memiliki tradisi literasi mumpuni merupakan ekosistem terbaik bagi kelestarian demokrasi.

Athena sering disebut sebagai ”moyang” demokrasi karena berakar pada tradisi literasi yang kuat. Peradaban Yunani dan Romawi menjadi mercusuar kemajuan karena dibangun di atas aktivitas baca-tulis masyarakat (Havelock, 1982).

Revolusi yang mengekalkan pilar demokrasi di Eropa (1848) tercetus di Prancis—bukan Inggris sebagai pelopor Revolusi Industri—karena masyarakat Prancis kala itu memiliki kultur literasi terkuat di Eropa (Rude, 1970).

Jepang juga mengalami lentingan dahsyat di bidang ekonomi setelah pengokohan komitmen pemberantasan buta huruf tatkala menetapkan Undang-undang Fundamental tentang Pendidikan (1872).

Sepanjang sejarah peradaban manusia, medium yang digunakan untuk menulis dan membaca dapat berubah. Mulai dari batu, kayu, daun lontar, logam, sabak, hingga kertas.

Medium komunikasi memang senantiasa berubah, tetapi budaya membaca tetap kukuh bertahan. Jangan sampai kemunculan era disrupsi kiwari menjadi dalih untuk menelantarkan kapasitas literasi dan penalaran panjang.



Tanpa kapasitas literasi, perkembangan kreativitas manusia tidak memiliki landasan pacu yang kuat. Pada zaman kiwari, berbagai inovasi di bidang pendidikan acapkali berdampak pada simplifikasi metode yang membawa segudang ”kemudahan”, tetapi berpotensi mengerdilkan fantasi.

Para guru rajin mengonversi materi pelajaran menjadi karya audiovisual yang memudahkan murid dalam memamah pengetahuan–ini sama sekali bukan kekeliruan, kecuali terbukti menumpulkan kemampuan murid dalam melakukan analisis dan penalaran.

Masyarakat hampir setiap hari terpapar media digital dengan muatan pesan yang instan dan serbaringkas. Segala kepraktisan ini berpotensi memangkas tradisi membaca masyarakat.

Tanpa tradisi membaca yang kuat, masyarakat akan sukar memahami dan mengembangkan penalaran-penalaran naratif yang panjang, seperti tatkala mengkaji filsafat, agama, sejarah, ideologi, sastra, dan lain-lain.

Pengetahuan naratif merupakan salah satu sumber penemuan diri dan fundamen pembentuk karakter. Kiranya Sastra Masuk Kurikulum dapat menjadi ujung tombak menciptakan masyarakat Indonesia yang beradab, berkarakter luhur, bermental kuat, dan tentunya: literat!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Mei 2024. Penulis adalah anggota staf pendidik Indonesian Community Centre KJRI Johor Bahru, Malaysia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya