SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Menarik bahwa Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menarik dan merevisi buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra dalam program Sastra Masuk Kurikulum.

Buku panduan ditarik dan direvisi karena buku panduan yang telah tersebar secara meluas itu menuai kritik. Kritik yang mengemuka berdasarkan pada sejumlah buku sastra yang direkomendasikan dalam panduan itu dinilai telah melanggar norma kesusilaan.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Pada sejumlah buku sastra yang direkomendasikan tersebut ditemukan kalimat atau paragraf tentang adegan cabul dan vulgar yang menarasikan kekerasan seksual atau bermuatan pornografi. Demikian dikemukakan sebagian pengkritik.

Pertanyaan yang harus dikemukakan adalah apakah narasi seksual dalam sastra dapat dikategorikan berbahaya? Misalnya, dalam novel berjudul Student Hidjo (2000) terdapat kalimat: ”Itu saat juga Hidjo dan Betje terus masuk di dalam kamar yang sudah disediakan. Apakah yang telah kejadian di sini, itulah Tuan pembaca bisa pikir sendiri” (halaman 122).

Penting untuk diketahui bahwa buku itu diterbitkan pada tahun 1919 dan dimuat terlebih dahulu secara bersambung di surat kabar Sinar Hindia pada tahun 1918 dalam bahasa Melayu pasar (bazaar), Melayu Betawi, atau Melayu rendah.

Bahasa yang identik dengan China-Melayu dan disalahpahami dengan ”menulis koyok Cina (menulis seperti China)”. Penulisnya adalah Mas Marco Kartodikromo. Dia adalah jurnalis awal pribumi dan pernah mendekam di penjara kolonial akibat menjalani hukuman perkara delik pers (haatzaai artikelen atau menyebarkan kebencian) di Batavia dan akhirnya dibuang ke Digul.

Contoh lain, di novel yang ditulis Ayu Utami berjudul Saman (1998) tertulis: ”Jakarta, 20 Juni 1994. Saman, tahukah kamu, malam itu, malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikmati wajahmu ketika ejakulasi. Aku ingin datang ke sana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.”

Di novel yang lain berjudul Cantik Itu Luka (2002) karya Eka Kurniawan terdapat kalimat: ”Carilah gadis lain,” ia menyarankan, “Semua kemaluan perempuan rasanya sama.” Dari semua novel yang masuk dalam buku panduan Sastra Masuk Kurikulum itu, hal dan masalah seks memang menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan.

Artinya, seks bukan sekadar bumbu atau pewangi cerita yang dapat menambah gairah untuk membaca. Hal itu justru mau menunjukkan bahwa seks adalah persoalan penting dan mendesak yang perlu segera dikenali akar dan/atau buahnya.

Dalam konteks ini, Seno Gumira Ajidarma pernah memperingatkan bahwa jika media dibungkam, maka sastra yang harus berbicara dengan lantang. Melalui cerita pendek yang berjudul Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Seno memperlihatkan bahwa karya-karya sastra, seperti novel dan cerita pendek (cerpen), mampu membuat pembayangan yang menghadirkan apa yang selalu dimangkirkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk seks.

Pertanyaan dari perempuan yang dituduh ”mengganggu stabilitas” dalam cerita pendek di atas dengan jelas menelanjangi topeng hegemoni budaya dari pihak-pihak yang sedang berkuasa.

”Jadi selama ini para suami sepanjang gang membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi dan membayangkan bagaimana saya bergumul dengan mereka di ranjang, begitu?”

Di sinilah sastra yang secara kreatif mampu menampilkan kisah-kisah fiksi dari kehidupan sehari-hari ternyata begitu bermanfaat untuk digunakan sebagai pelajaran yang bermuatan sosial humaniora daripada sekadar pendekatan legal atau paralegal, bahkan etik atau normatik.

Buktinya, dalam sebuah novel berjudul Dawuk (2017) yang ditulis Mahfud Ikhwan dapat ditemukan bahwa kasus ”seks bebas” (free sex) sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing dalam masyarakat kita. Di sana ditunjukkan bahwa ”…sebelum zaman hape, kisah perserongan di Rumbuk Randu itu lucu-lucu”.

Novel yang meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 ini menuturkan betapa dari waktu ke waktu urusan seks yang berujung pada beragam masalah sosial penyebabnya hanya dirumuskan dengan pepatah guyonan ”imannya kuat, tapi imronnya kumat”.

Karena itulah, kasus yang saat ini populer sebagai cybersex sebenarnya sudah terjadi di tengah-tengah masyarakat di antara Laut Jawa di utara dan Bengawan Solo di selatan. Teknologinya dengan alat-alat berladang, seperti cangkul yang diletakkan dengan gagang tegak ke atas, atau sabit, atau kampak yang dibacokkan ke batang pohon.

Di situlah tanda cybersex (yang bukan suami istri) dapat dilakukan. Jadi, seks dalam sastra sesungguhnya bukanlah hal yang berbahaya, sehingga patut dilarang. Hal itu justru menunjukkan bahwa dunia seks modern tampaknya tahu lebih banyak daripada kita mengenal diri sendiri.

Dengan kata lain, beragam kisah yang bersinggungan dengan seks, khususnya di kalangan remaja, hanyalah sebuah kegaduhan yang hampir tak dapat ditenangkan atau dijinakkan dengan suara resmi atau ”bahasa kosong” dari pihak-pihak yang sedang berkuasa (Takashi Shiraishi, 2001).

Itulah ironi kekuasaan masa lalu, masa Orde Baru, yang selalu bertendensi untuk menundukkan the power to will (hasrat berjuang dan melawan) masyarakat dengan the will to power (hasrat strategi berkuasa) penguasa.

Haruskah hal itu berulang dalam sejarah pada masa kini yang tengah berintensi untuk melakukan perubahan, khususnya dalam kajian pendidikan sastra? Jika demikian halnya, sungguh amat disayangkan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Juni 2024. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya