SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Komunitas pers, pengamat media, hingga Dewan Pers menolak  Rancangan Undang-undang Penyiaran yang akan menggantikan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Substansi revisi UU Penyiaran ini berpotensi mengancam kebebasan pers.

Draf revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi bahan pembicaraan berbagai kalangan yang peduli pada kebebasan pers, kemerdekaan pers, dan demokrasi.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Revisi UU Penyiaran sebenarnya memang perlu mengingat kondisi penyiaran yang sudah berubah dari era analog menjadi digital. Catatannya adalah arah perubahan harus mendukung perbaikan iklim demokrasi. Jangan malah sebaliknya.

Revisi UU Penyiaran diharapkan menjadikan UU Penyiaran lebih responsif terhadap perkembangan zaman. Artinya aturan yang dibuat memberikan kepastian hukum di ruang kosong, ruang digital misalnya. Aturan ini bisa menjamin kebebasan berpendapat di ruang digital.

Kenyataan yang muncul dalam draf revisi UU Penyiaran malah sebaliknya. Draf revisi UU Penyiaran ini patut diduga digunakan oleh penguasa untuk membuat aturan yang mengebiri kebebasan pers. Ada beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran itu yang berbahaya.

Salah satu pasal kontroversial adalah Pasal 50B huruf c tentang standar isi siaran (SIS) yang memuat larangan penayangan eksklusif  karya jurnalisme investigatif. Larangan penayangan produk jurnalisme investigatif dalam pasal tersebut disejajarkan dengan larangan penayangan konten rokok, narkotika, alkohol, perjudian, dan zat adiktif.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membuat draf revisi UU Penyiaran tampaknya  ingin menyampaikan bahwa produk jurnalisme investigatif sama berbahayanya dengan produk-produk terlarang tersebut.

Karya jurnalisme adalah salah satu ruang bebas bagi masyarakat sipil untuk menyampaikan kritik dan mengontrol penguasa. Hasil investigasi dalam jurnalisme biasanya bertujuan membongkar skandal-skandal busuk penguasa dan pengusaha. Investigasi untuk mengetahui fakta tersembunyi dari suatu peristiwa.

Kalau penyiaran karya jurnalisme investigatif  dilarang, lantas apa yang akan disuguhkan kepada publik? Apakah hanya berita-berita permukaan yang kering informasi atau berita-berita seremoni pejabat? Apakah itu yang diinginkan?

Pelarangan ini jelas menjadi upaya penguasa untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat sipil. Anggapan ini tentu tidak salah karena proses lahirnya revisi UU Penyiaran ini melalui kerja-kerja politik. Mungkin selama ini ada unsur penguasa yang merasa dirugikan dan terusik dengan kerja-kerja jurnalisme menyusupkan pasal busuk ini.

Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo mendukung kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat. Kenyataannya, pada pemerintahan era Presiden Joko Widodo justru muncul beberapa regulasi yang malah ingin mengerdilkan pers dan membungkam suara kritis

Beberapa pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa pasal di revisi Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang disahkan DPR pada 5 Desember 2023 adalah contoh yang sangat jelas. Kemudian muncul revisi UU Penyiaran ini.

Indeks kebebasan pers pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo cenderung menurun setiap tahun, terutama pada periode kedua masa jabatan dia. Data yang saya kutip dari Koran Tempo menunjukkan indeks kebebasan pers pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2020 hanya 63,18.

Pada 2021 turun menjadi 62,6, tahun 2022 skor turun menjadi 49,27, selanjutnya pada 2023 naik menjadi 54,83, dan pada 2024 angkanya menurun menjadi 51,15. Angka ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap kebebasan pers tidak terbukti.

Sengketa Pers

Pasal lainnya yang kontroversial di draf revisi UU Penyiaran adalah Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) tentang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran dan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dua pasal ini memunculkan pertanyaan kenapa anggota DPR ingin memberikan kewenangan berlebih kepada KPI? Apabila revisi UU ini disahkan tentu akan berdampak pada tumpang tindih kewenangan KPI dan Dewan Pers. Kondisi ini tentu akan membuat ketidakpastian hukum dan rawan disalahgunakan penguasa.

Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang bersifat lex specialis itu jelas bahwa sengketa jurnalisme ditangani oleh Dewan Pers. Pasal problematik berikutnya dalam draf revisi UU Penyiaran adalah Pasal 51E yang menyatakan sengketa yang timbul akibat keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal ini bertentangan dengan UU Pers yang telah memberikan mandat kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa pers.  Pasal-pasal tersebut semakin meyakinkan bahwa revisi UU Penyiaran memang salah satunya bertujuan menggerogoti kewenangan Dewan Pers dan mengebiri pers.

Kenapa kewenangan mengurus sengketa jurnalisme di penyiaran akan diserahkan kepada KPI? Ya, jelas, ada kepentingan politik di situ. Anggota KPI dipilih oleh DPR dan ditetapkan oleh presiden. Independensi lembaga ini sulit dipercaya. Misalnya ada sengketa pers terkait produk jurnalisme dengan politikus atau penguasa, bisa saja penguasa menggunakan kekuatan di parlemen untuk menekan KPI supaya mau berkongsi dengan mereka.

Berbeda dengan anggota Dewan Pers yang dipilih secara demokratis oleh komunitas pers sendiri. Anggota Dewan Pers terdiri perwakilan organisasi wartawan, organisasi perusahaan pers, dan tokoh masyarakat atau ahli di bidang pers.  Posisi anggota Dewan Pers lebih independen karena merupakan wakil komunitas pers.

Melihat berbagai kontroversi yang timbul dari revisi UU Penyiaran ini, ada baiknya para anggota DPR yang membahas revisi benar-benar mendengarkan kritikan publik. Libatkan publik dan organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan revisi UU Penyiaran tersebut.

Revisi UU Penyiaran memang diperlukan karena perkembangan dunia penyiaran yang semakin cepat dan beragam, namun jangan sampai aturan yang dibuat justru malah mencederai kebebasan pers dan mencederai demokrasi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Mei 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya