SOLOPOS.COM - Agus Widiey (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Akhir-akhir ini dunia pendidikan kita sedang berada dalam kondisi tidak aman dan tentu tidak nyaman. Informasi tentang kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) membuat para mahasiswa benar-benar merasa terganggu.

Kenaikan UKT merupakan isu tahunan dalam dunia pendidikan tinggi, tapi perlu digarisbawahi bahwa  problem pendidikan ini masih kental dan sangat krusial untuk direfleksikan bersama.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Refleksi penting agar cita-cita luhur undang-undang dasar negara kita tercapai dan kita terbebaskan dari belenggu penindasan yang mereduksi hak-hak yang seharusnya kita dapatkan.

Dalam rapat kerja Komisi X DPR pada Selasa, 21 Mei 2024, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, menyatakan prinsip dasar UKT harus selalu mengedepankan asas keadilan dan inklusivitas.

Nadiem juga menyebut kenaikan UKT hanya berlaku untuk mahasiswa baru 2024. Pernyataan ini menyulut protes dari sejumlah kalangan. Banyak mahasiswa yang menggelar demonstrasi menolak kenaikan UKT tersebut.

Langkah pemerintah itu telah memicu bermacam protes dari mahasiswa di berbagai kampus di seluruh Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang menjadi dasar penetapan kriteria baru UKT menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan akademikus dan masyarakat.

Para mahasiswa harus belajar dari pengalaman yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Meski kenaikan UKT hanya berlaku bagi mahasiswa baru, layak dipertanyakan karena problem yang kerap terjadi adalah mengenai sistem yang tidak tepat sasaran dalam memberikan golongan UKT kepada mahasiswa baru.

Setidaknya banyaknya penolakan dan protes dilakukan mahasiswa telah memberi lampu merah, sebuah tanda yang jelas-jelas tidak menginginkan penetapan kenaikan UKT benar-benar diaktualisasikan.

Pendidikan adalah jantung negara yang harus dijaga dan dirawat dengan baik demi kesehatan generasi muda yang katanya akan menjadi pemimpin pada masa depan. Pendidikan yang kita anggap seperti jantung itu akhir-akhir ini mulai sesak dan mungkin bisa dikatakan telah memasuki fase sakit janting.

Mengharapkan kesadaran kolektif pada pemangku kebijakan hanyalah ilusi. Ironisnya negara ini tidak menerapkan slogan “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, bahwa persoalan UKT dan hak pendidikan mahasiswa adalah isu yang selalu muncul setiap tahun.

Jika tak dibenahi akar persoalannya, UKT yang melebihi beban mahasiswa akan terus mengganggu dari waktu ke waktu. Aksi protes mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi yang menuntut agar kampus mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pemenuhan hak pendidikan mahasiswa kerap terjadi.

Ini dilandasi kenyataan banyak mahasiswa terancam dikeluarkan dari kampus (drop out) atau dipaksa cuti kuliah karena tak mampu membayar UKT. Pertanyaan yang kerap muncul di pikiran saya adalah apakah pemerintah termasuk juga PTN bertanggung jawab dan mencari solusi biaya kuliah yang tidak akan memberatkan mahasiswa?

Kita tahu, semua warga negara ini mempunyai hak atas pendidikan, yang artinya bukan hanya mereka yang tergolong kelas ekonomi ke atas. Pada dasarnya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, adalah jalan bagi masyarakat untuk mencapai cita-cita setinggi-tingginya.

Tentu itu juga demi mewujudkan cita-cita undang-undang dasar negara kita. Bukan sebaliknya, pendidikan menjadi menara gading, elitis, dan sulit diakses masyarakat yang tergolong ekonomi menengah ke bawah.

Tidak bisa kita mungkiri, salah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki manusia dalam hidup ialah pendidikan. Pendidikan dapat membentuk mental dan karakter seseorang sehingga menjadi manusia yang memiliki rasa atau nilai-nilai yang luhur dalam diri.

Selain itu, fungsi utama dari pendidikan yaitu memberikan keterampilan serta pengetahuan terhadap setiap yang terlibat di dalamnya. Maka perlu kiranya kita mendidik akal dan merawat hati nurani.

Saat ini generasi muda sangat memerlukan pendidikan mental dan karakter yang kuat, tetapi rupanya pada tahun akademis 2024-2025, mahasiswa baru mendapatkan tantangan yang tidak mudah dengan kenaikan UKT.

Inilah salah satu penyebab pengerdilan mental masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi. Masyarakat yang bekerja sebagai petani, pedagang kecil, dan nelayan dengan penghasilan yang relatif tidak menentu harus memilih kebimbangan-kebimbangan antara membiarkan anak-anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berhenti dan mencari pekerjaan saja.

Dari sini kita bisa merasakan pendidikan berada di titik kulminasi antara stagnasi atau malah mengalami degradasi. Hari ini seharusnya waktu bagi Indonesia menyingkap bermacam mimpi buruk di kepala warga negara lewat pendidikan yang akan berpengaruh besar dalam peradaban hidup pada masa depan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Mei 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Aqidah Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya