SOLOPOS.COM - Bonari Nabonenar (Solopos/Istimewa)

 Solopos.com, SOLO – Program Sastra Masuk Kurikulum yang baru saja diluncurkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi memiliki sedikit kemiripan dengan program makan siang gratis (untuk anak-anak).

Yang pertama babak belur pada awal peluncuran, sedangkan yang kedua mesti diubah namanya menjadi makan bergizi gratis (untuk anak-anak).

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Makan siang gratis adalah program yang digagas calon presiden yang terpilih dalam Pemilu 2024, Prabowo Subianto. Ia pada Oktober 2024 akan memulai menjalankan pemerintahan.

Sedangkan program Sastra Masuk Sekolah merupakan program Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Kita tahu menterinya Nadiem Anwar Makarim yang masa jabatannya berakhir bersamaan bergantinya kabinet.

Sastra Masuk Kurikulum seharusnya dipandang sebagai program yang sangat strategis dan akan lebih bermakna daripada sekadar makan siang gratis. Sayangnya, posisinya sekarang adalah berbanding terbalik.

Yang lebih penting malah berada pada posisi lemah karena hanya program kementerian yang menterinya segera mengakhiri masa jabatan. Ingat kebiasaan: ganti menteri ganti kebijakan. Ini seolah-olah adalah trade-mark kementerian satu ini!

Program Sastra Masuk Kurikulum yang diluncurkan beberapa hari lalu ibarat petinju kelas berat yang harus jatuh tersungkur pada detik-detik awal ronde pertama.

Panduan penggunaan rekomendasi buku sastra yang diedarkan secara daring, dan barangkali pula telah dicetak, mendadak ditarik lagi. Tautan untuk mengunduh versi daring kini tidak bisa dibuka lagi.

Penarikan itu terjadi persis setelah warganet dari kalangan praktisi, pengamat, pencinta sastra melontarkan olok-olok, kritik, hujatan, melalui media (sosial).

Banyak kesalahan pada naskah panduan penggunaan rekomendasi buku sastra, termasuk menyangkut data diri Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang dinyatakan telah meninggal dunia, padahal dalam kenyataannya yang bersangkutan masih segar bugar.

Masuknya karya para kurator ke dalam buku sastra yang direkomendasikan juga banyak dipersoalkan. Pendek kata, (panitia) program Sastra Masuk Kurikulum bagaikan petinju kelas berat (yang paling ditunggu-tunggu aksinya), namun ternyata justru tersungkur pada menit-menit awal ronde pertama.

Sejak lama berkumandang keluhan bahwa di sekolahan sastra hanya (sekadar) ditempelkan pada mata pelajaran bahasa. Bahwa minat membaca siswa sangat rendah. Perpustakaan sekolah miskin koleksi buku sastra. Dan seterusnya.

Seolah-olah menjawab keluhan itu, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi  meluncurkan program Sastra Masuk Kurikulum yang, sayangnya, tidak dipersiapkan dengan matang.

Sungguh sayang program yang telah lama ditunggu-tunggu ini jadi layu sebelum berkembang. Masyarakat (pencinta) sastra, terlebih para pengarang, penulis, sastrawan (pun yang buku mereka tidak atau belum direkomendasikan) mesti mendorong agar program ini terus dijalankan, tentu dengan pembenahan di sana-sini.

Berikut ini beberapa usulan, semoga dapat dijadikan bahan pertimbangan agar program Sastra Masuk Kurikulum dapat dijalankan dengan lebih baik, bukan saja untuk ”belajar merdeka” melainkan lebih kepada semakin mempertegas langkah menuju mencerdaskan bangsa.

Pertama, panitia yang kuat. Untuk program sehebat ini diperlukan kepanitiaan yang kuat dan benar-benar mumpuni. Jika betul diniatkan, bahkan layak untuk dibentuk lembaga khusus, badan, komisi, atau apalah yang paling tepat.

Urusan Sastra Masuk Kurikulum bukanlah urusan yang cukup dikerjakan secara dadakan, periodik, dan apalagi selesai sekali gebrak, melainkan mesti ditekuni sepanjang waktu.

Oleh karena itulah, apabila ada peluang membangun kementerian baru, yang lebih penting diakomodasi sesungguhnya adalah (kementerian) perbukuan nasional yang, antara lain, membawahi urusan merekomendasikan buku-buku sastra untuk anak-anak sekolah, bukan kementerian makan siang gratis.

Khusus untuk merekomendasikan buku-buku sastra untuk berbagai jenjang pendidikan (sekolah), dalam kepanitiaan (kementerian) harus ada dewan/tim kurator.

Jangan lagi bagian kuratorial itu (hanya) diisi oleh penulis/pengarang/sastrawan yang justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ketika karya mereka masuk ke dalam daftar rekomendasi, walaupun sesungguhnya memang layak secara kualitas.

Buku-buku itu selayaknya direkomendasikan oleh para kurator yang terdiri atas, setidaknya, pakar sastra, pakar bahasa, psikolog, sosiolog. Sastrawan, jika ingin terlibat, barangkali akan lebih baik jika tidak menempati bidang kuratorial.

Kedua, ingat nama programnya: Sastra Masuk Kurikulum. Nama programnya saja Sastra Masuk Kurikulum, bukan Sastra Indonesia Masuk Kurikulum. Oleh karena itu, adalah wajib membuat pula rekomendasi (dengan segala kebijakan turunan) untuk buku-buku karya sastra berbahasa daerah dan berbahasa asing.

Memasukkan karya-karya sastra berbahasa asing (dari negara/bangsa lain) tentu akan semakin memperluas khazanah pengetahuan anak-anak sekolah di berbagai jenjang.

Yang tidak kalah penting adalah memasukkan (buku) karya sastra berbahasa daerah. Biasanya, semua urusan kebahasaan (termasuk kesastraan) yang berkaitan dengan produk daerah diserahkan (baca: dibebankan) kepada daerah yang bersangkutan.



Untuk program Sastra (Daerah) Masuk Kurikulum penting diurusi pula oleh otoritas di pemerintah pusat. Sastra daerah selayaknya bukan hanya dimasukkan ke sekolah-sekolah setempat, melainkan juga ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia (atau bahkan dunia) yang memiliki anak didik berasal dari dan masih terikat dengan bahasa etnik mereka.

Balai Bahasa Jawa Timur—dan tampaknya juga balai bahasa di wilayah etnik yang masih merawat tradisi sastra tulis—memiliki program tahunan penerjemahan karya-karya sastra berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

Program itu dimaksudkan, antara lain, untuk memperkenalkan karya sastra daerah kepada warga daerah lain. Program Sastra (Daerah) Masuk Kurikulum sebaiknya merekomendasikan dan mendistribusikan karya sastra asli berbahasa daerah ke daerah lain, bahkan ke seluruh bagian dunia untuk melayani warga etnik (misalnya Jawa) yang masih setia menggunakan pula bahasa ibu mereka.

Ketiga, royalti bagi sastrawan. Program Sastra Masuk Kurikulum niscaya akan memberi dampak positif pula bagi para sastrawan atau pengarang. Para sastrawan yang bukunya direkomendasikan (seharusnya) mendapatkan royalti, bisa dihitung per unduhan atau dari jumlah sekolah yang mengakses.

Penghitungan royalti tersebut harus jelas dan sebaiknya jangan dipukul rata setiap buku yang mendapatkan ”stempel rekomendasi”.

Jika program ini berjalan dengan baik, niscaya tumbuh semakin subur minat membaca para anak bangsa dan dengan demikian mereka akan menjadi pasar yang semakin potensial bagi para pengarang atau sastrawan di tingkatan mana pun mereka berada.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Mei 2024. Penulis adalah penulis esai, cerita pendek, crita cekak, puisi, dan geguritan yang tinggal di Trenggalek, Jawa Timur)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya